Gebyuran Bustaman Menjelang Ramadan, Tradisi Ratusan Tahun Warisan Kiai Bustam

saranginews.com – Warga Kelurahan Bustaman di Kota Semarang, Jawa Tengah punya tradisi unik menyambut Ramadhan. Sebelum memasuki bulan suci umat Islam, warga sempat menangkap Gebjuran Bustaman.

Dikomentari oleh Wisnu Indra Kusuma, Semarang

BACA JUGA: Cuci Kaki, Ritual Langka Jelang Tahun Baru Imlek

Di pusat kota Semarang terdapat sebuah tempat khusus bernama Kampung Bustaman. Secara administratif desa ini merupakan bagian dari Desa Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah.

Nama Bustaman diambil dari nama nenek moyang desa ini. Dulu ada seorang bernama Kiai Kertoboso Bustam yang merintis desa-desa di kawasan ini.

BACA: Miras dan Jaring Senjata Jelang Ramadhan, Irjen Iqbal Ingin Umat Islam Berpuasa

Ceritanya, Kiai Bustam mengambil alih apa yang sekarang disebut Kampung Bustaman pada awal abad ke-18. Menjelang Ramadhan, nomor Yaman ini selalu menyenangkan hati cucu-cucunya.

Ternyata tradisi ini sudah diwariskan secara turun temurun. Keturunan Kiai Bustam menjadikan ini sebagai ritual menyambut Ramadhan.

BACA JUGA: Ayu Ting Ting dan Wendy Cagur Siap Meriahkan Program Ramadhan, Ini Idenya

Pekan lalu (27.03) Desa Bustaman menggelar hajatan. Warga desa ini terkenal suka melempar kambing dan saling menyiram air.

Sebelum dimulainya perang air, ada acara menunggang kuda di jalan di Kampung Bustam.

Desa yang ramai ini juga menjadi tempat latihan, tur kelompok, pertunjukan musik, dan permainan drum.

Ratusan warga yang hendak ikut adu air mulai mengolesi wajahnya dengan bedak. Selanjutnya olesan bedak akan dibersihkan dengan menggunakan kultur gebyuran.

Festival Bustaman dimulai setelah salat Asar. Suara genderang dan ketukan di masjid menandai dimulainya perang air.

Air yang dibungkus plastik berwarna beterbangan dari tangan masyarakat. Anggota Gebyuran Bustaman terdiri dari berbagai kelompok umur.

Baik anak-anak maupun orang tua saling menuangkan air hingga basah. Ritual perang air baru berakhir saat matahari terbenam.

Kepala Desa Bustaman, Hari Bustaman mengatakan, warga memaknai ritual gebyuran sebagai salah satu cara menyucikan diri sebelum memasuki Ramadhan.

“Air dipercikkan pada tubuh yang basah untuk menghapus kesalahan dan dosa,” kata Hari.

Salah satu keturunan Kiai Bustam menuturkan, hari raya ini sudah dilaksanakan sejak tahun 1743. Tradisi ini juga sebagai penghormatan kepada Kiai Busta yang telah membangun sumur di desa tersebut.

“Sampai saat ini warga masih memanfaatkan sumur tersebut. Usia sumur ini sudah lebih dari 279 tahun,” kata Hari.

Menurut Hari, pada awalnya budaya Gebyuran Bustaman menggunakan air dari sumur dan sungai. Dahulu, orang saling memukul dengan kain.

Namun seiring berjalannya waktu, warga kini mulai memanfaatkan air yang dibungkus plastik. “Kalaupun diubah sedikit, tidak mengubah maknanya,” kata Hari.

Gebyuran Bustaman pun turut diikuti dengan penuh kegembiraan oleh warga sekitar. Para anggota Gebyuran Bustaman tampak bahagia meski pakaiannya basah.

“Kami senang, tidak ada yang marah saat terkena air,” kata Endang, warga yang memasuki Gebyuran Bustaman. Pakaiannya basah.

Menurut Endang, masyarakat Desa Bustaman selalu menantikan perayaan adat tersebut. Menurutnya, menyambut Ramadhan tak akan lengkap tanpa Gebjuran Bustaman.

“Kebahagiaan inilah yang menanti kita di desa ini ketika nikmatnya kesalahan dan dosa sudah usai,” kata wanita paruh baya itu.

Bustaman Gebjuran semakin baik setiap tahunnya. Sejak tahun 2013, masyarakat Kampung Bustaman berkolaborasi dengan komunitas seni dan budaya Collective Hysteria.

CEO Hysteria Ahmad Khairudin mengatakan Desa Bustaman menjadi sorotan media nasional. Menurutnya, banyak pihak yang tertarik menjadikan Gebyuran Bustaman sebagai festival besar di Kota Semarang.

Namun, Khairudin mengatakan, sisi sebenarnya dari Gebyuran Bustaman akan hilang jika tradisi tersebut dihilangkan dari Desa Bastaman.

Jadi biarlah Bustaman tetap seperti ini, hanya prosesnya saja yang paling sulit, kata pria bernama Adin Histeria itu.

Adin berharap tradisi Desa Bustaman menjadi pembelajaran dan menginspirasi tempat lain yang memiliki peluang di masa lalu.

Hysteria Collective juga berupaya memberdayakan generasi muda di masyarakat kota Semarang untuk mengembangkan budaya sebagai daya tarik wisata yang penting.

“Dari situ kita bisa belajar beternak Bustaman lain. Bukan dalam kebahagiaan, tapi dalam konteks peristiwa lain,” jelas Adin. (mcr5/jpnn)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *