saranginews.com, JAKARTA – Penjabat Kuasa Usaha KBRI Seoul, Zelda Wulan Kartika, mengatakan permasalahan penuaan penduduk Korea Selatan bisa dimanfaatkan oleh pekerja migran Indonesia.
Hal itu diungkapkan Zelda saat berdiskusi dengan delegasi jurnalis Indonesia, termasuk ANTARA, sebagai peserta program “Jaringan Jurnalis Generasi Baru Indonesia di Korea” yang diselenggarakan oleh Korea Foundation dan Foreign Policy Community d’Indonesia.
BACA JUGA: Prabowo Terima Ucapan Selamat dari Presiden Korsel atas Kemenangan Pilpresnya
“Korea menghadapi penuaan populasi yang berarti banyak lapangan pekerjaan yang tidak dapat diisi oleh (penduduknya), sehingga membutuhkan (tenaga kerja) dari luar, salah satunya dari Indonesia,” kata Zelda di Seoul, Selasa (14/5).
Korea Selatan mencatat penurunan angka kelahiran hingga 7,7% pada tahun 2023 dan angka kesuburan terendah sejak tahun 1970 sebesar 0,72.
BACA JUGA: Siti Fauziah yang Didatangi Sekretariat Parlemen Korea Selatan, Jelaskan Tugas dan Wewenang MPR
Merujuk data tersebut, diperkirakan dalam 15 hingga 20 tahun ke depan, jumlah penduduk usia produktif di Negeri Ginseng itu akan berkurang secara signifikan.
Untuk menghadapi krisis tersebut, pemerintah Korea Selatan juga mencanangkan beberapa program untuk menarik tenaga kerja asing, khususnya Indonesia.
BACA JUGA: Prabowo Terima Telepon Presiden Korsel, Ini yang Dibicarakan
Koordinator Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI Seoul, Teuku Zulkaryadi mengatakan, salah satu pekerjaan yang terbuka lebar bagi tenaga kerja Indonesia adalah profesi las.
“Pasca COVID-19, industri pelayaran di Korea Selatan menerima banjir pesanan sehingga membutuhkan banyak tukang las untuk bekerja di industri pelayaran dan konstruksi di Korea,” ujarnya.
Ia menjelaskan, tahun lalu KBRI mendaftarkan permintaan pengiriman 5.000 tukang las Indonesia untuk bekerja di perusahaan Korea seperti Hyundai dan Daewoo.
Namun, tukang las yang diminati Korea Selatan adalah tenaga profesional yang memiliki sertifikat tingkat internasional tertinggi.
“Karena permintaan tersebut, hingga akhir Desember tahun lalu, kami hanya bisa mengirimkan sekitar 1.500 tukang las. Masih ada tambahan sekitar 3.500 pekerja yang belum bisa kami penuhi,” kata Yadi.
Selain permintaan tenaga kerja profesional dengan visa E-7, pemerintah Korea juga menerapkan program Work Izin System (EPS) untuk menarik tenaga kerja dari 16 negara yang bekerja sama, termasuk Indonesia, melalui mekanisme antar pemerintah (g to g).
Yadi menjelaskan bahwa program ini menyasar pekerja kerah biru atau berketerampilan rendah yang tidak lagi dicari oleh masyarakat arus utama Korea.
Melalui program EPS, ada lima sektor yang bisa dibuka untuk Indonesia, yaitu manufaktur, perikanan, konstruksi, pertanian, dan jasa.
Namun hingga Mei lalu, kata Yadi, belum ada permintaan pengiriman tenaga kerja Indonesia untuk menempati sektor tersebut.
Untuk itu, kami menegaskan opsi ini harus terbuka bagi (pekerja) Indonesia karena permintaan tenaga kerja harus datang dari Human Resource Development Service of Korea (HRDK), ujarnya.
Berdasarkan data imigrasi Korea Selatan, sekitar 60.000 pekerja migran Indonesia bekerja secara legal di negeri ginseng tersebut.
Dari jumlah tersebut, sekitar 40.000 orang diberangkatkan melalui mekanisme g to g dengan fasilitasi Kementerian Ketenagakerjaan RI dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Sebagian besar warga negara Indonesia bekerja di sektor manufaktur dan perikanan Korea Selatan. (semut/dil/jpnn)