saranginews.com, JAKARTA – Pada Senin (18/11), sidang dugaan korupsi sistem perdagangan bijih timah yang melibatkan empat manajer CV Venus Inti Perkasa (VIP) kembali digelar di Pengadilan Kriminal Tipikor Jakarta. Kesaksian ahli CV VIP.
Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin yang juga pakar hukum pertambangan, dalam keterangan Prof. Abrar Saleng menjelaskan, dalam kasus pertambangan, jika terjadi pelanggaran biasanya diselesaikan secara administratif, bukan pidana.
BACA JUGA: Jika Kasus Utama Gagal, Kejaksaan Agung Jangan Alihkan Masalah dengan Membatalkan Polisi.
“Apabila suatu perusahaan pertambangan mempunyai Izin Usaha Pertambangan (IUP), maka pelanggaran yang dilakukan dikenakan sanksi administratif dan tidak dianggap sebagai tindak pidana, kegiatan pertambangan berdasarkan IUP tersebut tidak melanggar hukum. – Yang dihukum karena menambang tanpa izin – kata Abrar.
Ia juga menegaskan, jika terjadi tindak pidana di perusahaan tambang tersebut, selain sanksi administratif, polisi dan Penyidik Pelayanan Publik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (PPNS) berwenang mengusut tindak pidana pertambangan. bukan pihak lain.
BACA JUGA: Perbedaan data kerusakan lingkungan dalam kasus korupsi timah menarik perhatian dalam persidangan
“Instansi lain tidak bisa melakukan penyelidikan karena pengawas tambang harus menjalani pelatihan khusus dan peraturan khusus,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, ia menilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani dugaan korupsi perdagangan timah sebesar Rp 271 triliun tidak memahami konsep pertambangan.
BACA JUGA: Begini Penjelasan Pengacara Bisnis soal Bekerja Sama dengan PT Timah dan Swasta
“Hal itu tidak akan terjadi jika penyidiknya ahli pertambangan,” ujarnya.
Saat ditanya apakah ada tindak pidana pertambangan dan siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban, dia mengatakan yang bertanggung jawab adalah perusahaan pemilik IUP, bukan pihak ketiga, termasuk masyarakat sekitar.
“Karena menurut UU Minerba, perusahaan pemegang IUP diperbolehkan melakukan kerja sama dengan pihak ketiga, namun jika ada masalah tanggung jawab ada pada pemilik IUP,” ujarnya.
Sementara itu, Mahmud Mulyadi, pakar dari Universitas Sumatera Utara, menjelaskan UU TIpikor bukanlah undang-undang komprehensif yang dapat menjerat pihak lain karena merugikan masyarakat secara finansial. Karena korupsi didasarkan pada kerugian keuangan negara, maka tidak bisa digeneralisasikan.
“Kalau siapa pun yang merugikan keuangan negara masuk kategori korupsi, berbahaya. Karena nelayan yang menangkap ikan secara ilegal (illegal fishing) bisa dijerat undang-undang korupsi. Jangan sampai orang yang menggali lahan dianggap mencemari lingkungan dan terbuka untuk korupsi. “Kita lihat dulu faktanya,” kata pengajar hukum pidana USU itu.
Dokter Hukum USU ini mengingatkan, UU Tipikor tidak bisa langsung dijadikan undang-undang tersendiri (lex spesialis) untuk kasus yang berbeda. Undang-undang ini hanya dapat digunakan apabila tidak ada undang-undang yang mengatur perbuatan hukum tertentu. Namun jika ada undang-undang tersendiri, maka undang-undang tipikor bisa diterapkan.
“Kalau ada dua undang-undang khusus yang dipermasalahkan, yang mana yang harus diterapkan? Pertama, harus dikaji wilayah usahanya. Misalnya, kalau UU Tipikor itu tentang hukum kepabeanan, hukum perbankan, hukum perpajakan, atau hukum minerba, maka undang-undang korupsi belum tentu berlaku,” ujarnya.
Katanya, dalam UU Tipikor harus dibuktikan terlebih dahulu unsur-unsurnya melawan hukum, menguntungkan atau memperkaya, dan terakhir merugikan keuangan negara.
Oleh karena itu, penting untuk dikaji apakah hal ini melanggar undang-undang dan merugikan keuangan negara. – Oleh karena itu, perlu dikaji terlebih dahulu peraturan perundang-undangan mana yang dilanggar, jika berkaitan dengan undang-undang lain maka harus didalami. secara spesifik dan sistematis, ujarnya.
Ia juga mengatakan perlu diuji terlebih dahulu apakah perhitungan besaran dugaan korupsi didasarkan pada perhitungan kerusakan lingkungan hidup. (cuy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAGI… Pendekatan Ahli dalam Sidang Kasus Timah Tak Etis, Perhitungan Kerugian Negara Diragukan