saranginews.com, TERNATE – Direktur Jaringan Anti Korupsi Indonesia (IACN) Igriza Majid menanggapi tudingan rekayasa data survei Badan Indikator Politik Indonesia terkait Pilkada Maluku Utara (Malut).
Igriza mengaku sangat meragukan keabsahan hasil Burhanuddin Muhtadi yang menyebut pasangan calon Shirley Tjoanda dan Sarabin Sehe mengalahkan tiga rival lainnya.
Baca juga: Mendagri Tito Setuju Penyaluran Bansos Ditunda Saat Pilkada, Siap Keluarkan Surat Edaran
Menurut aktivis antikorupsi di Maluku Utara, hasil survei Indikator Politik Indonesia sempat diragukan karena ada kesenjangan antara angka selektivitas beberapa calon dengan jumlah responden.
Berdasarkan hasil survei, paslon nomor urut 4 Shirley-Serbin lebih tinggi dengan persentase 40,7 persen, disusul paslon nomor urut 1 Hussain Alting Sajah-Asrul Rasid Ikhsan dengan persentase 20,7 persen, kata Igriza dalam siaran pers, Rabu. . (13). / 11).
Baca juga: Usut Kasus Pencucian Uang di Maluku Utara, KPK Periksa PT Mega Haltim Minerals
Disusul duo Muhammad Kasuba-Basari Salama (M.K. Bisa) dengan 15,5 persen, dan Seiring Mus-Saharil Tahir (Am-Sah) dengan 10,4 persen.
Sedangkan responden yang menyatakan tidak tahu/rahasia sebanyak 12,8 persen. Kalau dijumlahkan maka persentase respondennya akan lebih dari 100 persen yakni 100,1 persen, ujarnya.
Baca juga: Polda Malut Ingatkan Peserta Pilkada Tak Menyalakan Api
Selain itu, kata Igriza, terdapat kesenjangan jumlah kumulatif responden berdasarkan etnis demografi.
Ia mengatakan, setidaknya ada tiga etnis yang agregat respondennya hanya 99,9 persen dan agregat etnis lebih dari 100,1 persen.
Misalnya untuk suku Galela Hussein-Esrul 14,2 persen, disusul Seiring-Syaharil 10,1 persen. Lalu MK-BISA 28,0 persen, dan Shirley-Sarbin 37,9 persen, ujarnya.
Sedangkan 9,7 persen responden tidak tahu atau tidak memilih. Jika dijumlahkan, jumlah respondennya kurang dari 100 persen, yakni hanya 99,9 persen.
Persentase yang sama juga terjadi pada suku Sula, Ternet, dan suku lainnya yakni hanya 99,9 persen responden yang disurvei. Sedangkan pada suku Buta, Butaung, dan Butang angka akumulasinya lebih dari 100,1 persen, ujarnya. .
Aktivis pemuda dari Tahane menjelaskan, indikator Indonesia terletak pada perspektif sosio-demografis.
Basis suku Mekeng, Tidore, dan Sula sengaja dikurangi. Mereka kemudian juga melahirkan suku-suku baru, Halmahera, Butung, dan Butong. Dari mana asal usul suku ini? “Kami belum pernah mendengar nama suku ini di masa lalu. Maluku Utara,” ujarnya.
Ia melanjutkan, jika yang dimaksud adalah suku Bitung, masih bisa dimaknai salah ketik.
“Tapi suku Halmahera dan Butong itu apa? Karena di deskripsi sukunya sudah ada suku Buton dan kasta lainnya. Artinya, derajatnya seolah-olah sembarangan menambahkan nama suku yang bahkan kami masyarakat Malut Utara belum pernah mendengarnya,” jelas Igriza.
Igriza pun mempertanyakan citra pribadi yang diciptakan Shirley Laos dan bukan Shirley Tjoanda. Mantan mahasiswa sekolah antikorupsi KPK itu mempertanyakan apakah perubahan nama belakang Shirley sesuai dengan aturan yang mengharuskan negara menyetujuinya melalui penetapan pengadilan.
“Secara administratif, ini terlihat dari seluruh berkas yang sudah diserahkan ke CFU. Apakah nama resminya sudah diubah?”
Baca artikel lainnya… Pesan Calon Gubernur Sumut Hussain Alting Sjah Saat Hadiri Ibadah Syukur Peringatan Janji Pemuda