saranginews.com, Jakarta – Sebagaimana tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes), kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa tanda pengenal merek dinilai merupakan pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), dimana ketentuan ini dilindungi undang-undang. TIDAK. 20 Tahun 2016. Terkait Merek Dagang dan Indikasi Geografis (UU Merek Dagang).
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof. Hikahanto Juwana mempertanyakan hal-hal yang ada dalam rancangan Peraturan Menteri Kesehatan tersebut.
Baca juga: Rokok ilegal marak, kenaikan cukai merugikan negara Rp 5,76 triliun
Sebab, menurut mereka, menampilkan identitas merek merupakan hak pemilik usaha untuk membedakan dirinya dengan kompetitor.
“Karena tentunya pelaku komersial ingin bersaing dengan pelaku komersial lainnya dengan menonjolkan perbedaan antara mereknya dengan merek pesaingnya,” ujar Hikamanto dalam ceramah bertajuk “Mengejar Pertumbuhan Ekonomi 8%: Tantangan Industri Tembakau dalam Kebijakan Baru”.
Baca juga: Jokowi Terima Tunjangan Pensiun dan Jaminan Hari Tua dari TASPEN
Menurut Rektor universitas tersebut, Jenderal Ahmed Yani, tekanan terhadap industri manufaktur tembakau, termasuk keseragaman kemasan rokok, melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) tidak dapat disangkal merupakan campur tangan asing.
Bahkan, menurut dia, dalam artikel FCTC mengklaim kemunculan di kotak rokok telah meningkatkan jumlah perokok.
Baca Juga: Kemasan Rokok Biasa Dianggap Melanggar Hak Konsumen
Hikmahanto melihat aturan keseragaman kemasan rokok yang merusak identitas merek merupakan agenda paksaan asing di pasar Indonesia.
Hikamanto mengatakan, rancangan Menteri Kesehatan yang mengatur kemasan rokok tanpa pengenalan merek merupakan sebuah kontradiksi di Indonesia.
Pada tahun 2012 ketika Australia memperkenalkan peraturan untuk menghapus identifikasi merek pada bungkus rokok, Indonesia adalah salah satu negara yang melakukan protes.
Namun, kini Indonesia mencoba menerapkan kebijakan kontradiktif dengan mengambil langkah serupa. Padahal, tindakan tersebut sangat meresahkan para pekerja dan produk ekspor Indonesia, khususnya produk tembakau.
“Negara-negara yang bisa mengekspor ke luar negeri, seperti Indonesia, sudah mendapat pemasukan dari sana. Kami juga menentang kebijakan negara yang menggunakan kemasan polos. Tapi sekarang kami ingin menerapkannya di Indonesia,” kata Hikamanto.
Tindakan diam-diam mengadopsi ketentuan FCTC dalam kebijakan dinilai tidak sejalan dengan pandangan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Hikamanto mengatakan, dalam berbagai kesempatan, Prabowo telah menyatakan penolakannya terhadap berbagai bentuk campur tangan asing dan bertekad membersihkan Indonesia dari segala campur tangan asing.
“Jadi kita tidak boleh percaya apa yang diberitahukan dari luar negeri. Pak Prabowo tetap menegaskan. Kita negara besar. Kedaulatan harus kita jaga. Kita harus kejar apa yang baik untuk Indonesia,” tegas Hikamanto. chi/jpnn)