Akademisi dan Guru Besar Sebut Kasus Mardani Maming Sangat Minim Fakta Hukum

saranginews.com, JACARTA – Banyak pakar dan pakar hukum menilai kasus pilih kasih dan suap yang menimpa Mardani H Maming tidak banyak benarnya.

Kasus yang menjerat Mardani H Maming adalah soal izin pertambangan. Dimana izinnya sudah lolos penyidikan dari daerah hingga institusi.

BACA: Pengacara Undip Minta Kasus Mardani Maming Diusut, Ini Faktanya

Bahkan, IUP dikabarkan mendapat Sertifikat Bersih dan Bersih (CNC) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selama 11 tahun.

Fakta kasus tersebut diketahui bahwa perubahan sistem IUP disetujui oleh Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Tanah Bumbu yang mengatakan bahwa prosesnya mengikuti undang-undang, selain surat yang didaftarkan oleh Pemerintah Kota. Sekretaris, Direktur Hukum, dan Kadistamben

BACA JUGA: KPK memberikan nasihat kepada seluruh profesional saat menangani PK Mardani Maming

Seorang sarjana yang memuji kurangnya kebenaran adalah profesor hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Dr Muhammad Arif Setiawan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, Muhammad Arif mengatakan, yang dicari dalam pengambilan keputusan bukanlah siapa yang menang dan siapa yang kalah, melainkan apa yang diperlukan demi keadilan dan kebenaran.

BACA JUGA: Keputusan Mardani Maming Salah Hukum, Mahfud Md: Kejaksaan Harus Buka Kembali Kasusnya

Dr Muhammad Arif mengatakan, “Namun hakim telah mempertimbangkan tuntutan terdakwa,” kata Dr Muhammad Arif saat berbicara di CNN.

Arif Setiawan menjelaskan pentingnya kebenaran hakim dalam proses peradilan di pengadilan agar putusan benar-benar berdasarkan hukum.

Hal ini didasari kontroversi yang muncul dalam kasus Mardani H Maming, karena hakim pengadilan tidak memutuskan pokok-pokok perkara yang ada di hadapan pengadilan.

Disimpulkan hakim memutuskan untuk menahan mantan Ketua BPP Hipmi tersebut tidak memenuhi unsur pidana yang harus dipertimbangkan hakim sebelum menjatuhkan putusan pengadilan.

“Tuduhan itu memiliki dua poin yang sangat penting.

Arif Setiawan menjelaskan, pihak berwenang harus cermat dan cermat menganalisis hal-hal tersebut, baik materil maupun materil.

Dengan cara ini, pengambilan keputusan dapat didasarkan pada penelitian dan kebijakan yang baik.

“Oleh karena itu, tindak pidananya harus ada pasal yang dilakukan. Termasuk di dalamnya kesalahan terdakwa dalam menghadapi dakwaan. Oleh karena itu, salah satu yang harus dibuktikan adalah terbukti atau tidaknya isi dakwaan.” dia menjelaskan.

Menurutnya, jika hal-hal tersebut tidak terpenuhi, maka hakim (hakim) yang memutus perkara harus bisa mengadili terdakwa.

“Ditampilkan atau tidak isi tindak pidananya, itu tidak penting. Kalau tidak diperlihatkan maka tidak bisa ditegakkan,” imbuhnya dalam putusan tersebut.

Menurut pengacara Universitas Diponegoro (Undip) Prof Yos Johan Utama, keputusan hakim menghukum Mardani H Maming adalah karena kesalahan.

Berdasarkan penelusurannya, eks Rektor Undip ini mengkritik putusan hakim Mardani H Maming atas pasal yang didakwakan terdakwa.

Ia mengatakan, keputusan Bupati Mardani H Maming mengenai pengalihan IUP melalui aturan hukum adalah sah dan belum dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Nasional Hak Asasi Manusia (PTUN) yang merupakan pengadilan yang berwenang di bidangnya. hukum administrasi.

Selain itu, terdapat keputusan mengenai Perjanjian Dagang yang telah disepakati dan menyatakan bahwa ini adalah hubungan bisnis dan bukan kontrak yang tidak terbatas.

“Pengadilan Banding sebagai pengadilan pidana tidak berwenang menguji keabsahan putusan administratif. Oleh karena itu, tidak ada pelanggaran hukum yang dapat dijadikan tindak pidana, dan terdakwa tidak dapat dihukum, ujarnya.

Ia menambahkan, hakim didakwa melakukan kekeliruan dan kekeliruan karena peraturan yang dijadikan dasar mendakwa terdakwa, seperti pasal 97 1 UU 4 Tahun 2009 tentang pertambangan, mineral, dan batubara. , salah, karena larangan tersebut hanya diperuntukkan bagi pemegang IUP dan IUPK.

Pendapat dua ahli hukum tersebut patut mengacu pada kewenangan dalam proses peradilan, mengingat akhir-akhir ini masyarakat meragukan kerja hakim pasca ditangkapnya pelaku mantan pejabat Eselon 1 Mahkamah Agung, Zarof Ricar. . .

Pedagang seperti Zarof hanya bermain-main secara bebas untuk para terdakwa, namun sebaliknya, mereka dapat membawa pihak yang bersalah atas informasi yang dihasilkan, meskipun tidak cukup bukti untuk mengambil keputusan.

Perbuatan Zarof Ricar merupakan bagian dari kasus mafia peradilan yang sudah lama berlarut-larut di Republik Indonesia.

Pendapat tersebut diungkapkan Prof Mahfud Md, dalam keterangannya di akun YouTube-nya, di mana Mahfud mengatakan, perbuatan Zarof selama menjabat sebaiknya diusut ke Jaksa Agung.

Menjadi pekerja kasus pada 2012 – 2022, Mahfud menilai perlu adanya investigasi terhadap kasus-kasus yang diselesaikan Zarof.

“Kasus ini harusnya diusut, kejaksaan harus buka kasusnya lagi, kalau sampai terjadi lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi. dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi-lagi tidak ada yang terlihat, sehingga tidak ada yang dihukum karena dia hanya kambing,” ujarnya.

Diputuskan jika banyak kasus yang diuraikan dalam artikel ini ada korbannya, maka bisa dilakukan update (ray/jpnn).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *