saranginews.com, JAKARTA – Kasus dugaan korupsi di industri timah terus berlanjut. Dalam kasus ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung RI (Kejagung) mendakwa suami Sandra Devi, Harvey Moise, menyebabkan kerugian negara hingga Rp 300 triliun.
Berdasarkan gugatannya, kerugian negara ratusan juta disebabkan oleh pengelolaan produk timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk pada 2015-2022.
Baca Juga: Mantan Gubernur Syamsuar Diperiksa Bareskrim Polri Terkait Tindak Pidana, Kerugian Negara Rp 40 Miliar
Hingga saat ini, dasar penghitungan kerugian negara dalam data tersebut masih kontroversial.
Rapat Harian Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), Eka Mulya Putra menyebut terdapat ketidakadilan dalam perhitungan biaya kerugian negara, termasuk kerusakan lingkungan hidup yang diperkirakan mencapai Rp 300 triliun yang kini ditanggung para terdakwa. . . sedang mencoba
Baca Juga: Terkait Kasus CCL LNG, KPK Targetkan Kembalikan Negara Rp 1,8 Triliun
Menurut Eka, hal ini sangat tidak adil karena seharusnya beban kerugian tidak sepenuhnya ditanggung oleh mereka yang saat ini berada di bawah hukum. Padahal, lanjutnya, industri pertambangan di Bangka Belitung (Babel) sudah berlangsung lama.
“Penambangan timah yang sudah berlangsung bertahun-tahun di Bangka Belitung tidak boleh menjadi beban bagi mereka yang ikut mengusut pada tahun 2015 hingga 2022,” kata Eka.
Baca Juga: Pengusaha Tetian Wahyudi DPO Kasus Korupsi Timah Rp 300 T
Ia menambahkan, meski ada kendala dalam mengatasi dampak kerusakan lingkungan akibat pertambangan, namun tidak adil jika kali ini seluruh tanggung jawab dilimpahkan ke pundak para tergugat.
Eka menyebutkan, penggalian di kawasan tersebut telah dilakukan sejak masa Kerajaan Sriwijaya hingga masa penjajahan, menunjukkan bahwa permasalahannya sangat pelik dan memiliki sejarah yang panjang.
Oleh karena itu, keberadaan pekerja pertambangan yang melakukan penambangan di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah tidak bisa dipandang sebagai kegiatan ilegal yang merugikan negara.
Terkait kemitraan antara PT Timah dan pihak swasta, Eka menjelaskan MoU (memorandum of Understanding) yang dibuat didasarkan pada prinsip gotong royong.
“Kemitraan jangka panjang harus dilandasi saling menguntungkan. Kalau kedua belah pihak dirugikan, maka tidak bisa menjadi kemitraan jangka panjang,” kata Eka.
Ia menilai, ada permasalahan di pemerintahan sehingga akan menimbulkan permasalahan baru seperti sekarang. Namun, Eka menambahkan, kesalahan administrasi tidak bisa disebabkan oleh individu atau pihak tertentu.
“Masalah pengelolaan melibatkan aturan dan regulasi, dan hal itu tidak bisa dikaitkan dengan pihak-pihak yang terlibat saat ini,” katanya.
Hal ini sesuai dengan keterangan para saksi yang dihadirkan dalam persidangan kasus selama ini.
Salah satunya dari mantan Direktur Operasi dan Produksi PT Timah, Agung Pratama, dalam prosesnya mengatakan, aktivitas ilegal terjadi di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah jauh sebelum ada kerja sama dengan peserta smelter.
Agung mengatakan pemerintah dan PT Timah yang merupakan pemilik IUP di banyak lokasi pertambangan tidak tinggal diam dan tidak aktif.
Agung membenarkan pemerintahannya lamban. Bahkan hukum terhadap pekerja ilegal masih berjalan. Sayangnya upaya tersebut belum membuahkan hasil.
Menyikapi permasalahan tersebut, PT Timah menjalin kemitraan kerja dengan para penambang dalam bentuk sentra bisnis berbentuk PT, CV dan kerjasama. Dalam pengerjaan kemitraan ini, lanjutnya, kelompok penambang bekerja berdasarkan perjanjian kemitraan, dengan perintah kerja PT Thima.
Sedangkan untuk Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP), kata Agung, berasal dari pemerintah daerah (PEMDA) yaitu Gubernur Kepulauan Bangka Belitung. IUJP ini digunakan oleh smelter baik PT maupun CV yang bekerja sama dengan PT Timah.
Berkat kerjasama dengan pengusaha swasta, dalam percobaan tersebut terlihat bahwa kerjasama dengan pengusaha swasta dapat memberikan hasil yang baik bagi masyarakat dan perusahaan.
Keputusan tersebut berdasarkan pernyataan Direktur Proyek CSD dan Washing Plant PT Timah, Ichwan Azwardi yang disampaikan dalam sidang terakhir yang digelar pada Kamis (5/9). Beliau memberikan penjelasan penting mengenai beberapa poin penting yang berkaitan dengan penambangan timah dan program periklanan yang sedang dijalankan saat ini.
Pertama, Ichwan membahas dampak kerja sama PT Timah dengan smelter yang diklaimnya berhasil membalikkan program ekspor timah Indonesia.
“Dengan kerja sama smelter tersebut, PT Timah berhasil meningkatkan ekspor timah dari sekitar 25 persen pada tahun 2017 menjadi 90 persen pada tahun 2019,” kata Ichwan.
Informasi ini mengenai laporan Ekspor Logam Dunia dari International Tin Association (ITA).
Meski demikian, Ichwan mencatat meski pasar ekspor meningkat, namun secara keseluruhan nilai produk pertambangan tidak mengalami perubahan signifikan.
“Total keuntungan pertambangan tidak banyak berubah sebelum dan sesudah penggabungan smelter,” imbuhnya.
Data menunjukkan ekspor baja Indonesia tetap berkisar 80.000 ton pada tahun 2017 dan sedikit menurun menjadi sekitar 79.000 ton pada tahun 2019.
Hal itu, lanjutnya, bisa dilakukan berkat kerja sama dengan para penambang dengan membeli timah hasil penambangan mereka.
Ichwan Zuwardi menjelaskan, perseroan memiliki program SHP (Operasi Unggul) yang merupakan upaya pembuangan limbah tambang lama.
“Proyek SHP tidak melibatkan operasi penambangan baru. Keluaran dari SHP adalah pasir kadar rendah,” kata Ichwan.
Ditambahkannya, pasir yang rendah sebaiknya ditambah untuk menaikkan levelnya, artinya pembersihan.
“Metode pembersihan untuk meningkatkan kandungan timbal di pasir membutuhkan biaya sekitar 100-200 US$ per ton,” kata Ichwan.
Biaya tersebut mencerminkan sulitnya mengolah pasir timah yang dihasilkan program SHP sebelum dapat dimanfaatkan menjadi logam timah.
Saat ditanya mengenai rencana reklamasi lahan bekas tambang, Ichwan mengatakan reklamasi tidak akan serta merta dilakukan. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan reklamasi lahan bekas tambang rakyat.
“Saya belum bisa memastikan seluruh areal reklamasi seluas 400 hektare tersebut merupakan areal penambangan oleh mitra tambang PT Timah atau areal SHP.”
Dijelaskannya, alasan kawasan SHP tidak diprioritaskan untuk didaur ulang karena masih ada manfaat ekonomi dari produksi pasir timah.
Selain itu, ada kekhawatiran jika kawasan SHP cepat dipulihkan, masyarakat bisa membuka kembali kawasan tersebut untuk menerima timah yang belum diolah.
Dengan fakta tersebut, tak heran jika banyak masyarakat yang tidak percaya dengan keakuratan penghitungan kerugian negara yang nilainya mencapai Rp 300 triliun itu. (Koi/Jepang)
Baca selengkapnya… Korupsi Timah, 2 Karyawan Perusahaan Smelter Dituding Terima Rp 4,1 Triliun