saranginews.com, JAKARTA – Kesalahan hukum kasus Mardani H Maming menegaskan mafia peradilan Indonesia masih bebas.
Benar saja, kasus Zarof Rikar yang terjadi baru-baru ini menghebohkan publik dan mendorong penelitian para akademisi dan profesor antikorupsi mengenai kesalahan dan kelalaian hakim dalam kasus Mardani H Maming.
Baca Juga: Kasus Mardani Maming Kurang Bukti Hukum, Kata Akademisi, Profesor
Jika Anda ingat, permasalahan yang menjerat Mardani H Maming adalah terkait izin pertambangan. Kemana perginya izin penelitian dari daerah hingga pusat?
Padahal, IUP yang diperkenalkan sudah mendapat clear and clean letter (CNC) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya (ESDM) selama 11 tahun.
Baca Juga: Pakar Hukum Undip Minta Kasus Mardani Maming Diusut Ulang, Ini Alasannya
Berdasarkan dokumen pengadilan, proses pemindahan ITU mendapat rekomendasi dari Direktur Jasa Pertambangan dan Energi Tana Bombog (Distamben) yang mengatakan proses tersebut akan dilakukan dengan inisial Daerah Kabupaten sesuai dengan ketentuan yang berlaku. hukum. Sekretaris, Kepala Bagian Hukum, Kadistamben
Fakta tersebut diungkapkan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran, Prof. Romli Atmasasmita.
Baca Juga: KPK Tawarkan Semua Kelompok Profesi Selama Jabatan PK Mardani Maming.
Ia mengkritisi penanganan kasus Mardani Maming yang banyak cacat hukumnya.
Dikatakannya, “Menurut saya, ada delapan kesalahan yang dapat digolongkan sebagai kesalahan dalam menerapkan hukum.
Prof. Romley mengatakan proses penuntutan terpaksa dilakukan karena kasus tersebut salah penanganan.
Dijelaskannya, penerapan Pasal 12 b UU 20 Tahun 2001 oleh Hakim Kasasi dalam perkara Mardani Maming hendaknya tidak hanya diterapkan secara konvensional, tetapi juga harus dievaluasi dengan cara wessensschau.
Menurut dia, sebelum ketentuan tersebut diterapkan, tujuan ketentuan tersebut adalah untuk memberikan perlindungan kepada penyelenggara negara dalam menjalankan fungsinya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Negara. Administrasi. UU Tipikor 1999/2001.
Oleh karena itu, putusan Kasasi dalam perkara Nomor 3741 Tahun 2023 yang dinamai Mardani Maming tidak menerapkan gaya berpikir struktural, historis, dan teleologis. Putusan ini bertujuan untuk membuktikan sekaligus memenuhi dasar pemikiran tanggal baru. Wasit error atau error,” ucapnya.
Prof. Romley, Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Prof. Yos Johan Utama mengatakan, keputusan perkara itu tergantung fakta.
Mantan manajer Undip ini mengkritisi hukuman hakim terhadap Mardani H Maming dalam kasus terdakwa yang disangkakan dalam penyidikan.
Dalam sambutannya, ia menduga pengadilan pidana melakukan kesalahan karena tidak menerapkan ketentuan Pasal 4, Pasal 97, dan Ayat 1 Undang-Undang Minerba Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral, dan Batubara yang menjadi dasar dakwaan terhadap terdakwa. . Larangan itu hanya untuk IUP dan IUPK.
“Keterangan pengadilan membuktikan bahwa Mardani H. Maming adalah Direktur Pelaksana dan mempunyai kewenangan eksklusif untuk menerbitkan ITU dan IUPK sesuai Pasal 37 Ayat 1 UU 4 Tahun 2009, Mineral dan Batubara,” ujarnya.
Prof. Yos mengatakan, mantan Ketua BPP HIPMI yang saat itu menjabat Gubernur bukanlah pemegang izin melainkan pemberi izin dalam kasus tersebut.
Sekarang Prof. Yos Yohan bisa meninjau kembali putusan hakim karena Mardani H Maming dikenal sebagai pihak yang menyetujui dan tidak seharusnya didakwa melakukan pelanggaran hukum.
Terpisah, Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Todung Mulya Lubis dinyatakan bersalah atas penyalahgunaan wewenang pengadilan (proses persidangan) dalam kasus korupsi atas nama Mardani H Maming, mantan Gubernur Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, pada tahun 2010 hingga 2015 dan 2016. – tahun 2018.
Menurut Todung, perkara pidana terhadap Maming dilakukan karena tidak berdasarkan bukti.
“Aspek paling berbahaya dari keadilan yang tidak sempurna adalah kegagalan menjamin hak atas peradilan yang adil. Hakim Cherry memilih bukti yang dihadirkan di persidangan. “Hakim ingin mempertimbangkan keterangan tidak langsung (testimonium de auditu) karena sesuai dengan keyakinan JPU dan tidak akan dipertimbangkan alat bukti lain,” kata Todung.
Todung, pendiri ICW, menilai bias tersebut merupakan keputusan yang tidak adil. Jika bukti-bukti tersebut dipertimbangkan dengan baik, maka keterangan penuntut tidak terbukti.
Evaluasi terhadap keputusan tersebut juga dilakukan oleh Prof. Mahfoud Md mengatakan, pengusaha seperti Zarof tidak hanya mempermainkan terdakwa agar bebas, namun di sisi lain bisa memalsukan perkara dan memerintahkan seseorang untuk diadili padahal tidak cukup bukti untuk melakukan penuntutan.
Tindakan Zarof Rikar merupakan bagian dari persidangan mafia yang sudah berjalan lama terhadap pemerintah Indonesia.
Dalam keterangan di laman YouTube-nya, Mahfoud mengatakan Jaksa Agung harus mengusut tindakan Zarof selama menjabat.
Mahfoud menilai kepemimpinan Zarof sebagai lembaga penyiaran pada tahun 2012 hingga 2022 harus dijajaki.
“Kasus ini perlu diselidiki, jaksa penuntut negara harus membuka kembali kasus ini dan mencoba lagi jika memungkinkan, orang yang terluka tidak akan dihukum. Ini hanya kematian,” kata gubernur.
Ia menilai, jika banyak kasus yang disebutkan dalam kasus ini ada korbannya, bisa saja ditinjau ulang (ray/jpnn).