saranginews.com, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) kembali menghadirkan saksi ahli dalam sidang dugaan sumpah palsu terdakwa Ike Farida di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Kamis (31/10).
Dalam keterangannya hari ini, jaksa menghadirkan ahli kasus pidana Suhandi Kahaiya.
BACA JUGA: BHM Bela Mardani Maminga di PC, Gendardi: Kecil kemungkinan mendapat persetujuan pengadilan
Dalam keterangannya, Suhandi menjelaskan maksud Pasal 242 KUHP dalam kasus dugaan sumpah palsu.
“Yang dapat dipidana berdasarkan pasal ini adalah perorangan atau orang yang menugaskan lembaganya,” kata Suhandi di persidangan.
BACA JUGA: Pakar forensik digital jelaskan masalah obrolan grup WA dalam penyelidikan sumpah palsu
Suhandi juga menjelaskan teori bahwa unsur hukuman harus mencakup opzet (sengaja), actus reus (perbuatan salah) dan mens rea (niat jahat).
“Jadi saya jelaskan ke pengadilan, obatnya kalau saya bilang itu penyakit laki-laki, adalah menelepon tiga kali berturut-turut dalam waktu tiga minggu, yang kedua kali melaporkan kejahatan itu di SP3 (Surat Perintah Pemberantasan), tiga perusahaan ( produser) menitipkan uang tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan kemudian membantah tidak mau mengambilnya, kata Suhandi kepada wartawan di sela-sela sidang.
BACA JUGA: Sidang sumpah palsu berlanjut, kata mantan pengacara terdakwa
“Yang keempat kali dia gugat perdata, itu PK (peninjauan kembali) yang kelima. Bukankah itu mans rea? Katanya gugatan, tapi penyerangan habis-habisan dalam banyak hal,” imbuhnya.
Soal terpenuhinya ketentuan Pasal 242 KUHP dalam kasus ini, dia mengaku sudah menyerahkan sepenuhnya ke Majelis Hakim.
“Kalau Pasal 242 itu diterapkan atau tidak, biar DPR yang menilai. Begitu juga (terdakwa Ike Farida) bersalah atau tidak, biar DPR yang memutuskan,” kata Suhandi.
Dalam sidang pendahuluan yang digelar Rabu (30/10/2024), jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan tiga orang saksi.
Mereka adalah Angga Yuda Prawira dari BPN Kanwil DKI Jakarta, Faturohman dari KUA Makasar Jakarta Timur dan Pakar Digital Forensik Saji Purwanto.
Di hadapan sidang, Saji mengaku sebagai orang yang memeriksa barang bukti telepon genggam (HP) yang disita dari saksi Nurind MM Simbolon selaku mantan pengacara terdakwa.
Saji menjelaskan, penggeledahan ponsel itu bertujuan mengungkap percakapan Nurinda dan Aike Farida antara Februari hingga Desember 2020 terkait permohonan Peninjauan Kembali (PK) dan surat pernyataan novum.
“Saya melalui percakapan grup WhatsApp (WAG) antara Noorinda dan anggota grup tersebut membahas permohonan uji materiil dan sidang sumpah,” kata Saji menjawab pertanyaan jaksa.
Saji mengatakan, dalam perbincangan WAG terlihat jelas bahwa Noorinda rutin mengirimkan laporan, meminta pendapat dan persetujuan atas langkah yang diambil terkait permohonan PK dan surat pernyataan Novum.
“Nurinda berkoordinasi dan meminta persetujuan seseorang yang disebut Sensei (artinya guru dalam bahasa Jepang). Sensei ini yang bertanggung jawab,” katanya.
Kuasa hukum Ike Farida, Agustrias Andika mengatakan, ada perbedaan antara percakapan yang dilihat Saji dengan percakapan terdakwa.
“Mengapa ada perbedaan isi pembicaraan antara yang Anda berikan kepada ahli dan data yang kami miliki, apakah Anda sebagai ahli mengubah isi pembicaraan?” tanya Agustria.
“Pengacara Iq Farida hanya membawa rangkuman saja, tapi yang dibagikan ahli itu hanya cuplikan pembicaraan aslinya,” jawab Saji.
Setelah itu, hakim meminta ahli mengungkap langsung isi pembicaraan Nurinda dan terdakwa.
Sementara itu, saksi Angga Yuda Prawira mengatakan, surat Kanwil BPN DKI Jakarta tertanggal 27 November 2015 merupakan balasan surat dari Kantor Hukum Isdawati tertanggal 11 November 2015.
Surat ini digunakan sebagai alat bukti dalam gugatan Ayk Farida terhadap pengembang pada tahun 2015 dan digunakan sebagai alat bukti baru atau novum oleh Ayk Farid saat mengajukan permohonan peninjauan kembali pada tahun 2020, kata Angga.
Sementara itu, saksi Faturokhman menerangkan, dalam pencatatan perkawinan Aike Farid tahun 1995, tidak ada perjanjian perkawinan mengenai pembagian harta dengan suaminya yang berkewarganegaraan asing.
Namun baru pada tahun 2017, terdakwa mendaftarkan akad nikahnya ke KUA Kecamatan Makassar, Jakarta Timur.
Agustrias yang diperiksa di sela-sela sidang mengatakan, saksi-saksi yang hadir pada persidangan sebelumnya memberikan kesaksian palsu.
Pernyataan BPN dengan jelas menyebutkan bahwa terkait surat yang dikirimkan BPN pada tahun 2015 yang kemudian menjadi pokok perkara ini, disebutkan bahwa surat tersebut asli dan benar. Lebih lanjut, surat tersebut juga membuktikan bahwa tidak ada informasi mengenai apartemen yang disita. dibangun di bawah PT EPH hingga 2022. “Ada izin klarifikasi. Artinya tidak ada perintah dari gubernur,” kata Agustrias.
“Jadi keterangan saksi, informan, atau korban kemarin adalah pernyataan palsu di pengadilan bahwa mereka sudah mendapat perintah gubernur per tahun 2020.” Padahal baru tahun 2022,” imbuhnya. (cuy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA… Terdakwa kasus dugaan sumpah palsu meminta maaf di pengadilan