Sistem Peradilan di Indonesia Sedang Tak Baik-Baik Saja, KY Minta Hakim dan Jaksa Jaga Integritas

saranginews.com, JAKARTA – Ketua Komisi Kehakiman (KY) Mukti Fajar mengisyaratkan maraknya penangkapan hakim dan petugas pengadilan yang terlibat penyalahgunaan putusan.

Keputusan-keputusan mengejutkan baru-baru ini menunjukkan bahwa kehidupan penegakan hukum di Indonesia tidak berjalan dengan baik.

BACA JUGA: Hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang didakwa melakukan tindak pidana Ronald Tanur sedang diperiksa Pansus

Terbaru adalah penangkapan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya terkait pembebasan Ronald Tanur serta dugaan suap dalam putusan Mahkamah Agung (MA) dan penangkapan ZR, makelar kasus ini.

“Kami melihat ini menyangkut aktor-aktor di dalam atau di luar pengadilan yang bisa memutuskan hukumannya,” kata Mukti Fajar kepada wartawan, Selasa (29/10). 

BACA JUGA: Pedoman Kebijakan Hukum UU Komisi Yudisial

Menurut Mukti, pejabat pengadilan seperti hakim atau jaksa harus bisa menghindari praktik yang tidak patut. 

“Caranya adalah dengan selalu sadar menjaga integritas. Ketaatan terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, baik secara internal maupun eksternal. Selain itu, hakim juga tidak boleh berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dengan pihak yang berperkara,” lanjutnya.

BACA JUGA: Komite Kehakiman Selidiki Hasbi Hassan

Lebih lanjut, Mukti menyebut praktik mafia peradilan memanfaatkan celah hukum dan relasi aktivis di pengadilan. 

“Kemudian digunakan dalam setiap proses pengadilan,” ujarnya. 

KY sendiri sudah mendapat laporan terkait tudingan tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Linggau yang dianggap mengabaikan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1956 tentang perkara pidana yang belum terselesaikan kasus perdata.

Baru-baru ini, Pengadilan Negeri Lubuk Linggau kembali hadir karena sidang eksepsi menilai terdakwa bernama Bagio Wilueng dan Djoko Purnomo mengabaikan hukum yang tertuang dalam Pasal 84 ayat 1 KUHAP.

“Tempat kejadian perkara (TKP) dalam surat pengalihan perkara hanya menyebut Serayu dan Palembang sebagai ‘locus delicti’. Sebaliknya, jika melihat Pasal 84 ayat 2, saksi dan terdakwa saja tidak bisa mempunyai yurisdiksi,” ujarnya. kata Satria Nararya, pengacara Bagio dan Djoko.

Diungkapkannya, dalam tahap penyidikan atau penyidikan pemanggilan terhadap Bagio dan Joko, dugaan tindak pidana pertama kali terjadi di Kota Palembang dan Kabupaten Musi Banyuasin. 

Namun yang mengejutkan, penyidik ​​dan jaksa penuntut umum ditugaskan ke Pengadilan Negeri Lubuk Linggau. 

“Tidak ada pengecualian dalam KUHAP bahwa rumah masing-masing terdakwa, Pak Bagio dan Pak Joko, berada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Lubuk Linggau. Tempat ditemukannya terdakwa juga bukan di Lubuk Linggau. karena Tuan. Bagio ditemukan saat pemeriksaan tersangka di Bareskrim, Jakarta Selatan,” tegas Satria. 

Di sisi lain, mantan Ketua Jaksa Penuntut Umum Indonesia, Dr. Barita Simanjuntak pun menjawab pertanyaan tersebut. 

Menurut dia, keberatan terhadap kompetensi delegasi pengadilan sangat mungkin terjadi.

“Pihak-pihak yang bersengketa berhak mengajukan keberatan atau merasa pengadilan tidak mempunyai kekuasaan untuk mengadili,” ujarnya. 

Meski demikian, Barita juga menegaskan pengadilan memiliki pertimbangan khusus. 

Hal ini disebabkan undang-undang memperbolehkan MA untuk menyetujui atau tidak melanjutkan proses pelimpahan perkara dari pengadilan yang mempunyai kewenangan menggugat, kata Barita (mcr8/jpnn).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *