saranginews.com, JAKARTA – Masyarakat Adat Krama Mencintai Pilkada yang Adil dan Demokratis menyurati Majelis Desa Adat (MDA) terkait Pemilihan Ketua Daerah (Pilkada) di Kabupaten Badung, Provinsi Bali.
Surat yang ditujukan kepada MDA terkait dugaan mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Pemkab Badung I Wayan Adi Arnawa – Bagus Alit Subuat (Nawacita) mengutus kepala desa untuk mendaftarkan perwakilan (Cabup) ke Bupati Badung, China (29/ 08). /2024).
BACA LEBIH LANJUT: Pemilihan kantor wilayah
Masyarakat menilai Dewan Desa Adat (MDA) Provinsi Bali telah mengizinkan para tetua desa untuk terang-terangan mendukung Kepala Badung I Wayan Adi Arnawa.
“Kami menyerukan adanya pengumpulan dan mobilisasi massa untuk mendukung Bupati Badung I Wayan Adi Arnawa. Hal itu tertuang dalam surat Desa Adat Pecatu bernomor 161/DAP/VIIl/2024 perihal permohonan pendampingan pendaftaran calon. Surat tersebut ditandatangani oleh Desa Adat Pecatu, I Made Sumerta dan Penyarikan I Nyoman Sujendra M, dengan stempel Desa Adat Pecatu, kata A Ulfa Umar, juru bicara Krama Adat Cinta, Komunitas Pemilu yang jujur dan demokratis.
BACA JUGA: Anies tak maju ke Pilkada Jabar 2024, Ono Surono tuduh Mulyon
Menurutnya, warga desa terdahulu yang diundang untuk mendampingi pendaftaran bakal calon I Wayan Adi Arnawa adalah Desa Prajuru, Desa Prajuru Saba, dan Desa Prajuru Kerta.
Selain itu, para pembina Kelian dan Banjar, anggota Kelian Tempeks dan Kesinoman, Kelian dan Pekalang. Bahkan ketua dan anggota WHDI, Paiketan Yowana, Kelian Seke Teruna dan anggota, Kelian Subak beserta anggota dan lain-lain.
BACA: Oalah Ungkap Alasan Anies Baswedan Tak Bertarung di Pilkada Jabar 2024
“Jelas pengerahan aparat desa merupakan pelanggaran aturan Pilkada. Kami meminta Panwaslu Kabupaten Badung menindaklanjuti temuan yang juga beredar di media sosial tersebut,” kata Ulfa, sapaan akrabnya.
Selain surat tersebut, beredar pula pesan berantai berupa ajakan kepada komunitas pekalang di Abiansemal untuk menghadiri acara yang sama.
Menurut Ulf, masyarakat ingin Pilkada Badung berjalan jujur, adil, demokratis, dan tanpa paksaan dan intimidasi.
“Kami menilai perintah, perintah, dan kumpul-kumpul tersebut sama sekali bertentangan dengan semangat dan semangat Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 tentang Masyarakat Adat,” kata Sekretaris Jenderal Aliansi Relawan Prabowo Gibran (ARPG).
Menurut Ulf, Pasal 22 Ordonansi Desa Adat dengan jelas menyebutkan bahwa kewajiban desa adat dalam pelaksanaan kasukertan sakala dan niskala meliputi: a. perencanaan, pengelolaan dan pemeliharaan pemanfaatan desa adat Parahyangan, Pawongan dan Pabelasan. B. pemeliharaan dan pengembangan sistem dan penerapan hukum adat; C. diselenggarakan oleh Desa Adat Sabha dan Desa Adat Kerta.
Selain itu, d. memajukan kebudayaan, agama, tradisi, seni dan budaya serta kearifan masyarakat desa adat; e. melakukan kegiatan sesuai karakter Sad Kerthi; F. penyelenggaraan agama Hindu berbasis Pasraman untuk mengembangkan jati diri, keutamaan dan nilai-nilai masyarakat Bali.
Lalu Tuan. menjaga kelestarian desa adat; H. pengembangan ekonomi desa adat; I. menjaga kelangsungan hak atas tanah Desa Padruwen; J. menjaga kesucian, kekuatan, kemurnian dan ketertiban desa adat Pabelasan; k. melakukan pelatihan Kram dan menekankan pada peningkatan tanggung jawab terhadap lingkungan.
Bahkan, saya melakukan pengelolaan sampah di desa adat Wewidangan; M. melakukan kegiatan lima yadnya sesuai dengan petunjuk kitab agama Hindu; N. melakukan kegiatan lain yang berkaitan dengan Awig-Awig dan/atau dresta; dan o. memenuhi tugas lain yang ditetapkan oleh pemerintah dan VÚC.
Jelas bukan tanggung jawab daerah untuk memobilisasi nilai-nilai tradisional dalam kegiatan politik atau pilkada, tegas Ulfa.
Selain itu, kata dia, Desa Adat Prajuru sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 ayat. (2) Huruf a, mempunyai potensi sebagai berikut: a. Banddesa Adat atau nama lain; B. patajuh Bandesa Adat atau pangliman atau nama lain; C. panyaran atau penulis atau nama lain; dan d. paten atau pabrikan atau gelar lainnya.
Nah pada Pasal 30 Perda tersebut, tugas dan kewajiban Desa Purba Prajuru antara lain: a. penyiapan rencana dan program strategis pengembangan desa adat; B. membuat rencana keuangan dan anggaran untuk rumah tradisional; C. melaksanakan program pengembangan desa adat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b melalui kegiatan Parahyangan, Pawongan, dan Pabelasan.
Juga, d. penggunaan Awig-Awig dan/atau Pararem Desa Adat; e. mengatasi persoalan budaya/tutur kata yang terjadi di kampung adat Wewidangan; F. mengatur pergerakan sosial dan keagamaan di desa adat Wewidangan sesuai dengan teks agama dan budaya; Tn. mengumumkan hasil pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada huruf b) dan c) di Paruman Desa Adat.
Dari sini jelas bahwa prajuru adat tidak bertanggung jawab dalam menghimpun cara-cara adat dalam kegiatan politik, termasuk partisipasi dalam pencatatan pasangan.
“Kalau ada perkumpulan, prajura itu melanggar Pasal 32 Perda Desa Adat. Yaitu larangan kepala suku mengambil keputusan yang memihak pihak lain dan larangan menyalahgunakan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya,” tegas Ulfa.
Menurut Ulf, penggunaan cara tradisional dalam rangka pendaftaran calon merupakan tindakan yang menguntungkan pihak lain dan merupakan pelanggaran terhadap tugas dan wewenang prajur.
Demikian ungkap Ulfa sebagai warga masyarakat dan secara tradisional ingin Pilkada berlangsung jujur, bersih dan demokratis sekaligus desa adat yang tetap rukun dan ramah tamah.
“Kami sedang mencari penjelasan dari MDA Bali terkait permasalahan ini,” kata Ulfa.
Ulfa meminta MDA menjelaskan secara tegas kepada masyarakat Krama Bali jika mobilisasi politik terhadap budaya Krama diperbolehkan dalam kasus di atas agar keadaan di desa adat menjadi lebih baik (Jumat/Jpnn) Jangan lewatkan video pilihan redaksi ini: