saranginews.com – Jakarta – Front Penyelamatan Demokrasi dan Reformasi Indonesia menggelar diskusi publik bertajuk “Mengkaji 10 Tahun Kepemimpinan Jokowi” pada Kamis (15 Agustus) di Jalan Diponegoro Nomor 72, Menteng, Jakarta Pusat.
Aktivis mahasiswa dari berbagai organisasi turut serta dalam diskusi tersebut. Diantaranya Donny Manurung (aktivis GMKI), Harianto (BEM SI), Maria Aga Lane (Ketua PMKRI Jakarta Pusat), Yukenriusman Khulu (aktivis UKI) dan Sharir Kore Bima (BEM FH UBK).
Baca juga: Terinspirasi Film, Mahasiswa Polynema Ciptakan Game Horor
Kemudian dari Shandi Marthapraja (aktivis Universitas Muhammadiyah Tangerang) dan Deodatus Sunda Se (Ketua GMNI Jakarta Selatan). Moderator diskusi Rarasworo Tejo (aktivis 98).
Menurutnya, Ega menilai selama sepuluh tahun terakhir masyarakat Indonesia mempunyai persepsi bahwa mereka dipermainkan. Citra yang tercipta pada awal pemerintahan adalah pemimpin seharusnya hidup demokratis, namun kenyataannya tidak demikian.
Baca Juga: 52 tim muda berbakat bersaing memperebutkan inovasi dalam kompetisi Young Innovators 2.0
“Dramanya bisa ditonton sampai anaknya terpilih menjadi Wakil Presiden. Lalu baru-baru ini terjadi lagi perubahan usia partisipasi pilkada dan masih banyak lagi,” ujarnya.
Sementara itu, Yuken, mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI), menilai demokrasi Indonesia kurang berjalan baik.
Baca juga: Kedua Bea Cukai Ini Jelaskan Perannya kepada Mahasiswa
Karena itu, ia menilai kini saatnya mahasiswa kembali berjuang untuk menyuarakan kebenaran. Sebab, institusi pemerintah belakangan ini dilemahkan oleh segelintir orang.
Dhoni dari GMKI juga mengutarakan pendapat serupa. Dalam penilaiannya, sepuluh tahun pemerintahan Jokowi menimbulkan kesan bahwa hukum tidak berpihak pada rakyat.
“Sepuluh tahun terakhir ini sepertinya undang-undang dijadikan alat untuk mempermudah penguasa,” ujarnya.
Pandangan Donny juga dianut oleh Devdutt, yang percaya bahwa negara tampaknya dikendalikan oleh satu keluarga dan kroni-kroninya. Ia kemudian mengajak para siswa untuk kembali mendekatkan barisan.
“Mahasiswa punya sejarah di negeri ini. Sangat penting untuk menggabungkan kekuatan siswa dan masyarakat, kata Devdutt.
Sementara itu, Koordinator Pusat BEM S.I. Harianto yakin kebenaran akan kembali menang. Karena mahasiswa tidak akan berhenti bersuara mengenai hal ini.
“Kalau padam, pemicunya akan terlihat. Akan tiba saatnya para siswa akan bersatu. Semakin banyak tekanan yang mereka berikan, mereka akan semakin kesulitan,” katanya.
Sharir BEM FH UBK menekankan menyikapi persoalan HAM di era pemerintahan Jokowi. Ia menilai, alih-alih menyelesaikan masalah, pemerintah malah memperburuk masalah.
“Hal ini tidak menyelesaikan permasalahan hak asasi manusia di masa lalu, namun justru memperburuk permasalahan tersebut. Indeks demokrasi sekarang turun, demokrasi tidak sehat, partai politik disandera,” ujarnya.
Sementara itu, Shandy menilai reformasi yang dilakukan saat ini masih diremehkan. Oleh karena itu, diskusi saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah ini. Katanya, “Hanya ada satu kata, lawan. Kami mahasiswa siap memberikan penilaian.” (Gira/Jepang)
Baca artikel lainnya… Persatuan Mahasiswa Puncak Jaya minta klarifikasi atas permintaan maaf pengunjuk rasa di Jakarta Pusat