Menolak Lupa Peristiwa Kudatuli, Romo Benny Tak Ingin Kejadian Kelam Itu Terulang

saranginews.com, Jakarta – Pengamat budaya Antonios Beni Sostio mengingatkan, peristiwa 27 Juli 1996 di Jakarta bukan sekadar kenangan pahit dalam sejarah politik Indonesia.

Peristiwa yang dikenal dengan tragedi Kodatoli ini menjadi simbol luka mendalam yang masih dirasakan banyak orang, terutama mereka yang menjadi korban atau keluarga korban kekerasan yang terjadi.

Baca Juga: Peristiwa Kodatholi Bisa saja dialami Parpol lain yang bersuara keras membela rakyat.

Pada hari itu, pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto menyerang markas Partai Demokrat Indonesia (PDI) yang ditempati oleh pendukung pemimpin partai yang baru saja digulingkan, Megawati Sukarnoputri.

“Serangan ini bukan hanya merupakan tindakan biadab terhadap warga sipil tak bersenjata, tapi juga menunjukkan bagaimana pihak berwenang saat itu menggunakan hukum sebagai alat untuk menekan oposisi politik,” kata ayah Benny yang kondang itu dalam keterangan resminya.

Baca Juga: Hastu: Kodatuli Mengetahui Kekuatan Arus Bawah Tanah Tidak Bisa Dipadamkan

Ayah Benny melanjutkan, Cerita tidak berhenti sampai di situ, kejadian ini menimbulkan kerusuhan yang meluas di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di Jalan Diponegoro, Salemba, dan Kramat.

Kendaraan dan bangunan dibakar dan kekacauan terjadi selama dua hari.

Baca Juga: Peringatan Kodatoli, PDIP Letakkan Bunga di Kantor Partai Korban Rezim Tirani.

Peristiwa Kodatoli harus menjadi pengingat bagaimana kita melupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Ia menegaskan, penghapusan peristiwa ini menunjukkan betapa hukum kebal terhadap pelanggaran HAM saat itu. Pelanggaran hak asasi manusia tidak hanya merugikan sila kedua Pancasila, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab, namun juga merusak harkat dan martabat manusia.

Ia mengatakan ketika otoritas dan kekuasaan politik menurunkan martabat manusia, maka masyarakat kehilangan nilainya.

Pancasila harus menjadi dasar berpikir dan bertindak, khususnya penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Ditambahkannya: “Jika Pancasila dikembalikan ke dalam etika kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pelanggaran harkat dan martabat manusia harus selalu diingat dan diselesaikan.”

Pastor Benny menegaskan, dengan membiarkan hukum mengalami impunitas, maka kejahatan terhadap kemanusiaan tidak boleh dibiarkan terus berlanjut.

Hukum harus berpihak pada kemanusiaan dan keadilan, bukan sekedar kepentingan kekuasaan.

Ayah Benny kemudian mengutip filsuf besar Walter Benjamin yang mengatakan bahwa ketika masalah menyangkut kemanusiaan, seorang pemimpin harus mampu melakukan hal-hal yang luar biasa.

Pemimpin harus mengatasi kepentingan politik sesaat dan berani melakukan tindakan tidak populer untuk memperjuangkan kemanusiaan.

Namun kenyataannya, politik seringkali melanggar kemanusiaan karena tidak lagi berlandaskan suara hati nurani.

“Ketika politik tidak memiliki hati nurani, maka politik menjadi biadab dan merusak harkat dan martabat manusia. Peristiwa 27 Juli harus menjadi gerakan bangsa ini untuk mengembalikan keadaban Pancasila,” ujarnya.

Ia menegaskan, semua pihak harus menciptakan kesadaran kritis bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan harus diperjuangkan tanpa henti.

Ia mengatakan: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengakui masa lalunya, menengok sejarah kelamnya dan berani melompat ke masa depan dan tidak menjauhkan diri dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Mengakui bahwa kemanusiaan harus menjadi hukum tertinggi dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.” menjelaskan.

Dalam sambutannya, ayah Beni mengatakan bahwa hukum harusnya mengabdi pada kemanusiaan dan keadilan, bukan kepentingan kekuasaan.

Kekuatan yang melayani kemanusiaan, bertindak etis dan berpegang teguh pada nilai-nilai dasar, moral, dan etika. Kekuasaan yang menganut nilai-nilai tersebut lebih mengutamakan kepentingan rakyat dibandingkan kepentingan individu atau kelompok tertentu.

Ditegaskannya: “Vulgaritas kejahatan yang menganggap kejahatan itu wajar dan wajar harus dihapuskan. Demokrasi yang berdasarkan Pancasila harus mengedepankan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.”

Pastor Benny juga menekankan bahwa demokrasi tidak boleh menggunakan kekerasan struktural atau manipulasi birokrasi dan militer untuk mempertahankan kekuasaan otoriter.

“Kekuasaan seharusnya melindungi martabat manusia, bukan sebaliknya,” katanya.

Ayah Benny melanjutkan, peristiwa 27 Juli 1996 harus menjadi pelajaran berharga bagi semua orang.

Beliau menjelaskan: “Kita harus selalu mengingat dan tidak pernah melupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah terjadi. Hanya dengan cara itulah kita dapat membangun masa depan yang lebih baik dimana hak asasi manusia dihormati dan dihormati serta keadilan dan kemanusiaan harus menjadi landasan dalam setiap tindakan dan kebijakan.

Peristiwa 27 Juli 1996 tidak hanya mengungkap kebrutalan pemerintahan Orde Baru dalam menghadapi pembangkang, namun juga menunjukkan betapa rapuhnya demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia saat itu.

Ia mengungkapkan, banyak korban peristiwa ini yang masih menuntut keadilan dan pengakuan atas penderitaan yang mereka alami.

Ditegaskannya, Menolak untuk melupakan peristiwa 7 Juli 1996 penting dilakukan karena banyak korban peristiwa tersebut yang masih hidup dalam luka dan kerugian.

Menolak untuk melupakan berarti memperjuangkan keadilan bagi mereka dan memastikan pelaku kekerasan dihukum, ujarnya.

Ia menjelaskan, “Selain itu, mengingat peristiwa ini akan membantu generasi muda untuk memahami sejarah hitam bangsanya sehingga dapat belajar dari masa lalu dan berusaha untuk tidak mengulanginya di masa depan.”

Pastor Benny juga menekankan bahwa menolak melupakan kejadian ini berarti mengakui dan memahami pelanggaran HAM di masa lalu membantu memperkuat komitmen terhadap demokrasi dan penegakan hukum yang adil. Lebih-lebih lagi

Peristiwa ini merupakan pelanggaran langsung terhadap nilai-nilai Pancasila, ujarnya.

Dijelaskannya, mengingat hal tersebut berarti memperkuat komitmen kita untuk mendukung kemanusiaan yang adil dan beradab.

Ia menjelaskan, “Lebih lanjut, sebagaimana dijelaskan Hannah Arendt dalam analisisnya tentang banalitas kejahatan, kejahatan yang dianggap wajar dan normal dapat merusak tatanan moral masyarakat.

Pastor Benny mengatakan, mengingat dan mengutuk peristiwa 27 Juli akan membantu mencegah normalisasi kekerasan dan pelanggaran HAM.

Menolak untuk melupakan peristiwa 27 Juli 1996 merupakan tanggung jawab kita sebagai warga negara yang peduli terhadap masa depan bangsa.

Beliau mengatakan: Hanya dengan mengaku dan belajar dari masa lalu kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik, yang tidak akan tercapai jika kita terus menutupi atau melupakan luka masa lalu.

Pastor Benny juga mengatakan, peristiwa 27 Juli 1996 hendaknya menjadi pengingat abadi bahwa bangsa ini pernah mengalami masa kelam dimana hukum dan kemanusiaan diinjak-injak untuk mempertahankan kekuasaan.

Tak hanya itu, bungkamnya lawan dan kritik dilakukan secara sistematis dan menimbulkan suasana ketakutan dan ketidakpercayaan di masyarakat.

Ia mengatakan: “Reformasi hukum dan keadilan untuk mencegah terulangnya kejadian serupa, reformasi hukum dan keadilan harus diutamakan. Hukum harus dilaksanakan secara adil dan tidak memihak.”

Ia juga meminta aparat penegak hukum independen dan bebas dari campur tangan politik.

Selain itu, keadilan harus dicapai dengan membawa pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM ke pengadilan, serta memberikan kompensasi yang memadai kepada korban dan keluarganya.

Ia menambahkan: “Memperkuat demokrasi adalah langkah berikutnya yang sangat penting. Demokrasi yang nyata harus didasarkan pada partisipasi aktif masyarakat, transparansi dan akuntabilitas.”

Ia melanjutkan: Masyarakat harus memiliki kebebasan untuk mengekspresikan pendapatnya dan berpartisipasi dalam proses politik tanpa takut akan penindasan.

Partai politik seharusnya menjadi penyalur aspirasi masyarakat dan bukan sebagai instrumen kekuasaan.

Pendidikan kewarganegaraan dan kesadaran sejarah Pendidikan kewarganegaraan dan kesadaran sejarah hendaknya diciptakan sejak dini.

Generasi muda harus diajarkan tentang nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan sejarah bangsa, termasuk peristiwa kelam seperti 27 Juli 1996.

Ia melanjutkan: “Dengan cara ini, mereka akan menjadi warga negara yang kritis, sadar akan hak-hak mereka dan berkomitmen untuk menjaga keadilan dan kemanusiaan. Rekonsiliasi dan pengakuan adalah langkah penting lainnya.”

Dia menjelaskan, pemerintah harus menerima kesalahan masa lalu dan meminta maaf kepada para korban dan keluarganya.

Proses rekonsiliasi harus melibatkan semua pihak yang terlibat, termasuk korban, pelaku dan masyarakat luas.

Menurutnya, hanya dengan cara itulah luka masa lalu bisa disembuhkan dan bangsa ini bisa maju dengan percaya diri.

Media dan masyarakat sipil mempunyai peran yang sangat penting dalam melestarikan memori kolektif peristiwa 27 Juli 1996, ujarnya.

Masyarakat sipil harus terus mendukung dan mendorong pemerintah untuk melakukan reformasi hukum dan keadilan.

Katanya: Nilai-nilai Pancasila hendaknya diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip kedua, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, harus menjadi pedoman dalam setiap kebijakan dan tindakan pemerintah.

Selain itu, setiap warga negara harus menghormati hak dan martabatnya tanpa diskriminasi.

Peristiwa 27 Juli 1996 hendaknya selalu dikenang sebagai bagian dari sejarah hitam bangsa ini.

Menolak untuk melupakan berarti kita berkomitmen untuk belajar dari masa lalu, memperjuangkan keadilan dan memastikan dihormatinya hak asasi manusia di masa depan. Hanya dengan cara inilah kita bisa membangun Indonesia yang lebih demokratis, adil dan beradab, ujarnya. “

Ia menjelaskan: “Perjuangan keadilan dan hak asasi manusia tidak berhenti sampai di sini. Kita harus mengingatkan diri sendiri dan generasi mendatang akan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Mari kita lanjutkan perjuangan ini demi masa depan yang lebih baik bagi seluruh warga negara Indonesia.”

Menolak untuk melupakan peristiwa 27 Juli 1996 merupakan langkah penting dalam perjalanan kita menuju Indonesia yang lebih adil dan beradab.

Sebab, ini bukan sekedar mengenang masa lalu, tapi belajar dari kesalahan dan memastikan hak asasi manusia dihormati dan dilindungi di masa depan.

Melalui komitmen bersama dan tindakan nyata, kita dapat membangun bangsa yang menghargai kemanusiaan dan keadilan serta mencegah terulangnya tragedi serupa, kata Pastor Benny.

“Sebagai warga negara, kita semua memiliki peran dalam sejarah. Tanggung jawab kita bersama adalah untuk tidak melupakan peristiwa 27 Juli 1996. Ini menjadi pengingat bahwa setiap tindakan yang kita lakukan, sekecil apa pun, dapat berkontribusi pada perubahan positif. Mari kita terus memperjuangkan keadilan, hak asasi manusia, dan demokrasi, agar kejadian hitam seperti ini tidak terulang lagi.”

Pastor Benny menegaskan, dengan mengenang peristiwa 27 Juli 1996, kita tidak hanya menghormati para korban, tapi juga menguatkan tekad kita untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan.

Harapannya, Indonesia akan menjadi negara yang menghormati hak asasi manusia, menegakkan hukum secara adil, dan demokrasi yang bermanfaat bagi seluruh warga negara.

Pada akhirnya beliau berkata: Hanya dengan cara inilah kita dapat mencapai masa depan yang lebih baik bagi kita semua (mcr10/jpnn).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *