saranginews.com – Jakarta – Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta menolak keras kebijakan Pemprov DKI Jakarta terkait penataan dan pembersihan guru honorer.
Wakil Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta, Ima Mahdia menilai kebijakan tersebut merugikan guru honorer yang telah berjasa besar dalam dunia pendidikan dan berpotensi mengganggu sistem pengajaran di sekolah.
Baca Juga: Pegawai honorer yang di PHK masih berpeluang menjadi ASN sebelum pendaftaran PPPK 2024
“Kebijakan ini patut dikaji lebih dalam karena masih banyak sekolah yang belum memiliki guru dengan kualifikasi linier,” kata Ima dalam keterangannya, Kamis (18/7).
Menurutnya, jika kebijakan kebersihan ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan mengganggu sistem pengajaran di sekolah.
Baca Juga: Pendaftaran CPNS 2024 & PPPK Masih Belum Jelas, Jalur Ini Sudah Tahap SKD
Fraksi PDIP juga menyoroti kemungkinan tumpang tindih antara kebijakan daerah dan kebijakan pusat terkait penghapusan tenaga honorer, termasuk guru honorer.
Dia menjelaskan, kebijakan struktur tenaga honorer sedianya merupakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Baca Juga: Nasib Guru Honorer Negeri Belum Aman Jelang Pendaftaran PPPK 2024, Buktinya
Pasal 66 UU tersebut mewajibkan seluruh instansi pemerintah pusat dan daerah untuk menata pegawai non-ASN paling lambat Desember 2024.
Ia mengatakan, tujuan utama kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan pegawai pemerintah, dimana setelah Desember 2024 hanya akan ada dua jenis pegawai yaitu pegawai pemerintah kontrak (PPPK) dan PNS.
Oleh karena itu, kedepannya tidak akan ada lagi pegawai berpangkat kehormatan. Meski demikian, bukan berarti pegawai honorer harus dipecat.
“Ini bukan untuk pemecatan atau pembersihan. “Jadi menurut kami Pemprov kurang memahami amanat undang-undang tersebut,” ujarnya.
Di sisi lain, Ima mengakui permasalahan tersebut juga muncul akibat buruknya manajemen proses rekrutmen tenaga akademik honorer.
Banyak guru honorer yang diangkat oleh kepala sekolah, tanpa mekanisme pengangkatan yang baik, dipengaruhi faktor individualitas, dan pilihan yang tidak sesuai aturan.
“Penunjukannya tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah dan tidak ada rekomendasi dari Dinas Pendidikan. Akhirnya temuan BPK,” kata Ima.
Apalagi masih banyak guru honorer yang memiliki pengalaman mumpuni, namun tidak mendapatkan kuota atau sertifikasi untuk menjadi CPNS atau PPPK karena harus bersaing dengan lulusan baru.
Status guru honorer yang belum tersertifikasi di berbagai bidang menjadi kendala besar bagi mereka.
Mereka dipekerjakan di sekolah negeri karena terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Depodik), meski tidak memiliki sertifikasi khusus yang dipersyaratkan, seperti sertifikasi guru agama.
Serikat Guru juga menyatakan bahwa karena guru honorer digaji oleh Pusat melalui dana BOS yang disimpan dalam APBD, maka guru honorer tidak boleh membebani kabupaten.
“Kebijakan sanitasi ini menunjukkan adanya ketidaksinkronan antara kebijakan pusat dan daerah yang perlu segera diatasi. Kami berharap pemerintah daerah segera berkoordinasi dengan pemerintah pusat,” tambah Ima.
Seperti diberitakan sebelumnya, DKI Budi Awaludin, Plt Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, mengatakan pihaknya akan melakukan pemutusan hubungan kerja (pembersihan) kontrak guru honorer pada 11 Juli 2024.
Pemutusan kontrak tersebut berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap banyaknya guru honorer yang tidak mematuhi peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
“Mulai 11 Juli 2024, Dinas Pendidikan DKI Jakarta akan menata tenaga honorer pada satuan pendidikan negeri di wilayah DKI Jakarta,” kata Budi, Rabu (17/7). (mcr4/jpnn)