saranginews.com, JAKARTA – PT Bank UOB Indonesia terus mendukung terciptanya budaya keuangan yang sehat dengan gencar menyelenggarakan kegiatan edukasi yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan inklusi keuangan khususnya bagi generasi muda Indonesia.
Literasi keuangan masih dianggap sebagai isu mendasar dalam membangun budaya keuangan yang sehat, termasuk perencanaan keuangan dan perkiraan keuangan yang diperlukan agar tidak terjerumus ke dalam perangkap pinjaman online (pinjol) ilegal.
BACA JUGA: UOB Umumkan Pemenang Pengundian Hadiah MINI PS Bespoke Edition
Strategic Communications and Brand Manager UOB Indonesia Maya Rizano mengatakan sangat penting untuk meningkatkan literasi generasi muda, terutama bagaimana menjaga ketahanan finansial.
Apalagi jika melihat saat ini, banyaknya generasi Z dan Millenial atau berusia antara 19 hingga 34 tahun berkontribusi besar terhadap tingginya angka kredit macet pada pinjaman online yang bisa mencapai lebih dari Rp 700 miliar.
BACA JUGA: Seniman Bali memenangkan Penghargaan UOB Painting of the Year ke-13 (Indonesia)
“Kegiatan edukasi seperti ini sangat diperlukan sebagai wadah untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap aspek-aspek seputar sektor keuangan, yang nantinya dapat menjadi penunjang dalam pengelolaan perekonomian Indonesia. “Untuk itu diperlukan peran berbagai pihak agar generasi muda kita bisa melakukan perencanaan keuangan yang matang dan berkelanjutan,” kata Maya di sela-sela UOB Media Education Circle di Jakarta, Rabu (24/04).
Kali ini, UOB Media Education Circle menghadirkan beberapa narasumber yaitu Direktur Pelaksana Edukasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Halimatus Sadiyah; Psikolog, pendidik dan pendiri Cikal Najeela Shihab; dan Kepala Manajemen Simpanan dan Aset di UOB Indonesia Vera Margaret.
BACA JUGA: Rekaman CCTV Pembunuh Wanita Hamil Kelapa Gading
Berdasarkan survei tiga tahunan yang dilakukan Kantor Jasa Keuangan (OJK), terungkap bahwa tren indeks literasi dan inklusi keuangan masyarakat Indonesia terus meningkat.
Mulai tahun 2022, indeks literasi keuangan akan berada di angka 49,68% dibandingkan tahun 2019 dibandingkan hanya 38,03%, sedangkan indeks inklusi keuangan akan mencapai 85,1% dibandingkan tahun 2019 yaitu 76,2%.
Halimatus Sadiyah, Direktur Penyelenggaraan Edukasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menjelaskan meski setiap tahun meningkat, namun kesenjangan antara indeks literasi dan inklusi masih cukup tinggi.
Hingga saat ini, OJK terus berupaya meningkatkan literasi keuangan masyarakat, antara lain melalui kegiatan edukasi multipihak dan kolaborasi multipihak untuk menjangkau masyarakat luas.
“Kami juga telah membangun infrastruktur seperti lmsku.ojk.go.id agar masyarakat dapat belajar secara mandiri dengan akses bebas terhadap platform informasi layanan keuangan, perencanaan keuangan, serta konten kementerian yang berisi nasehat keuangan “Di sisi inklusi , kami memiliki program yang mendukung pemerintah yaitu 1 rekening, 1 pelajar dan ada tim untuk mempercepat akses keuangan daerah dan banyak lagi,” jelas Halimatus.
OJK berharap masyarakat bisa mendapatkan pengetahuan keuangan yang lebih baik, termasuk transaksi digital, sehingga tidak tergiur dengan pinjaman online ilegal.
Penting untuk mengetahui cara mengelola keuangan dengan baik agar tidak terjadi defisit selisih antara pengeluaran dan pemasukan.
Langkah pertama dalam mengelola keuangan pribadi adalah memilah kebutuhan dan keinginan Anda. Menurutnya, inklusi keuangan menjadi kunci untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, Najeela Shihab, psikolog, pendidik, dan pendiri Sekolah Cikal, menilai tidak hanya soal pendidikan keuangan saja, namun jika melihat permasalahan anak dan keluarga, ekosistem pendidikan, literasi dalam segala hal masih sangat rendah.
“Rendahnya literasi keuangan bukanlah suatu hal yang mengejutkan. Kami menemukan bahwa kemampuan literasi dan numerasi anak-anak Indonesia di semua tingkatan masih rendah. Selain itu, masih terdapat perbedaan besar berdasarkan latar belakang keluarga. “Masih terpinggirkan, terutama pada kelompok sosial ekonomi bawah, masalah literasi masih tertinggal,” kata Najeela.
Najeela mengatakan dengan rendahnya indeks literasi masyarakat, akses terhadap layanan keuangan justru meningkat. Dengan demikian, kesenjangan antara literasi dan inklusi terus mengecil.
“Kami memiliki akses yang tidak terbatas, namun kami tidak bersedia membiarkan setiap individu mendapatkan manfaat yang optimal. Bukan hanya budaya finansial, tapi juga budaya digital. Kemampuan optimalisasi teknologi belum setinggi yang diharapkan. “Kualitas hubungan dalam keluarga sangat menentukan kemampuan seseorang untuk memiliki literasi yang baik,” kata Najeela.
Head of Deposit and Wealth Management UOB Indonesia Vera Margaret menambahkan, dalam perencanaan keuangan, masyarakat harus memperhatikan porsi konsumsi dengan mengatur pendapatan dan pengeluarannya.
Dalam hal ini Vera merumuskan rasio pengeluaran yang ideal, yaitu sekitar 70-85% pendapatan digunakan untuk kebutuhan seperti perumahan, makanan, dan hutang yang harus dibayar.
“Kita sudah terbiasa dididik untuk mengutamakan menabung dan berinvestasi. Tapi kontribusinya tidak bisa mewakili separuh pendapatan kami, kami harus memuaskan diri sendiri dulu. Sisihkan saja 10-20% untuk tabungan. Yang penting kita punya dana darurat sehingga tidak perlu meminjam jika ada keperluan mendesak karena kita punya tabungan. Maka kita tidak perlu mengubah keinginan kita, karena yang penting bisa memotivasi kita untuk naik ke level selanjutnya, tapi alokasinya hanya 5-10%. “Jadi kami tidak mau mengambil pinjaman, apalagi pinjaman ilegal,” kata Vera.
Vera berpesan agar masyarakat tetap mengedepankan perilaku perencanaan keuangan yang baik, seperti tidak mengubah gaya hidup saat pendapatan meningkat dan selalu disiplin dalam menabung.
“Selain itu, masyarakat juga harus mencatat pengeluarannya untuk mengetahui kebiasaan belanjanya,” ujarnya. (kanan/jpnn)
BACA ARTIKEL LAGI… Anwar Usman masih menggunakan fasilitas Hakim Agung