saranginews.com – Pandemi COVID-19 menuntut partisipasi seluruh tenaga kesehatan, baik sipil maupun honorer.
Mereka berada di garda terdepan, mulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (faskes) hingga rumah sakit.
Baca: Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Harga minyak AS turun di bawah nol dolar.
Namun banyak petugas layanan kesehatan khawatir karena banyak pasien dan keluarga mereka yang saat ini menyembunyikan informasi yang benar.
Diposting oleh Ani Andriyani, AM.Kep. Perawat Honorer K2 yang bekerja di UPTD Puskesmas Cijeungjing Kabupaten Ciamis.
Baca Juga: K2 Honorer Perawat di Tengah Wabah Corona Bayangkan NIP PPPK.
Ia mengaku sempat beberapa kali merawat pasien bergejala COVID-19, namun merahasiakan informasi tersebut dari pihak keluarga.
“Diperiksa ada pasien dengan gejala mirip COVID-19. Awal pemeriksaan, pasien dan keluarganya merahasiakannya. Tapi saat ketemu dokter, dia buka. Butuh waktu seminggu dari Bandung ke Ciamis, kata Ani kepada saranginews.com, Selasa (21/4).
Baca juga: Indonesia Senang Kalau Jokowi Singkirkan Sri Mulyani, Menurut Arief.
Karena Bandung merupakan episentrum wabah COVID-19, ia khawatir pasiennya akan tertular Corona.
Sementara itu, Saat memeriksa pasien, Ibu tiga anak ini memakai APD (alat pelindung diri); Hanya beberapa masker dan sarung tangan yang digunakan.
Bahkan, Ani mendapat APD hazmat dari Puskesmas Cijeungjing Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis. Namun, Setiap pussmas hanya bisa mendapatkan 3 APD hazmat. Saat itu tenaga kesehatannya berjumlah 20 orang.
Oleh karena itu, pengelola puskesmas setempat berinisiatif menjahit baju medis untuk 20 tenaga kesehatan. APD Hazmat digunakan untuk menangani pasien yang menunjukkan gejala Corona.
“Saat itu baju dokternya belum dibuat, jadi hanya memakai pakaian formal dan masker serta sarung tangan. “Untungnya, setelah pasien dibawa ke rumah sakit, dia didiagnosis mengidap virus corona,” ujarnya.
Meski begitu, Ani dan rekan-rekannya merasa frustasi saat bertemu dengan pasien yang tidak bermoral.
Seperti halnya COVID-19, informasi mengenai penyakit pasien ditutup-tutupi seolah-olah merupakan aib. Faktanya, hal ini membahayakan banyak orang.
Kekhawatiran Ani dan rekan-rekannya saat ini adalah banyak masyarakat yang akan mudik menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. ODP otomatis (orang dalam pengawasan) akan lebih banyak.
Untuk melindungi pekerja kesehatan; Puskesmas menawarkan kebijakan konsultasi melalui telepon.
Pasien akan bercerita tentang penyakitnya dan dokter akan menyiapkan obatnya. Kemudian keluarga pasien akan memberikan obatnya.
“Alat pelindung diri kami minim, sehingga kami hanya berkonsultasi lewat telepon untuk melindungi petugas kesehatan. Jika tidak kunjung membaik, Anda dapat pergi ke puskesmas dan memeriksakan diri. Nantinya, dokter akan memutuskan apakah Anda akan dikirim ke rumah sakit. Iya atau tidak,” kata pengurus Persatuan Kehormatan K2 Indonesia (PHK2I) di Regalia, Ciamis.
Selama pandemi ini, Ani dan perawat perempuan menerima tanggung jawab tambahan sebagai bagian dari tim tanggap COVID-19 setempat.
Selain dinas kesehatan setempat; Perawat berhijab ini bekerja dalam posisi terpadu dalam menangani COVID-19. (esy/jpnn)