Petani Karet Menjerit, Butuh Uluran Tangan Pemerintah

saranginews.com, JAKARTA – Di Indonesia, 89% perkebunan karet dijalankan oleh petani kecil, sedangkan sektor swasta dan badan usaha milik negara hanya 11%.

Namun kenyataan menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan karet kecil, khususnya regenerasi perkebunan tua, berjalan sangat lambat dan peran Pemerintah masih belum jelas.  

BACA JUGA: Moeldoko jamin nasib petani karet akan segera membaik

Faktanya, pasar karet alam dunia diperkirakan akan membaik harganya, meskipun petani kecil karet di negara produsen masih belum mendapatkan keuntungan, kecuali Thailand yang merupakan negara penghasil karet nomor 1 di dunia yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan. program yang efektif dari pemerintah.  

Sekretaris Jenderal Badan Penelitian dan Pengembangan Karet Internasional (IRRDB), Dato’ mengatakan: “Kami mengajak seluruh negara produsen karet alam untuk bekerja sama menyelesaikan permasalahan yang dihadapi produsen kecil melalui penelitian dan produksi teknologi untuk meningkatkan perekonomian karet alam” . Abdul Aziz SA Kadir, pada International Rubber Conference (IRC) 2024 yang diselenggarakan bersama Japan International Cooperation Agency (JICA), Kamis (21 November). 

BACA JUGA: Korban Banjir Jakarta Diselamatkan dengan Perahu Karet

Dalam konferensi ini, sekitar 250 delegasi datang dari negara anggota dan non anggota IRRDB seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Sri Lanka, Pantai Gading, China, India, Kamboja, Myanmar, Jepang, Perancis, dll. 

Konferensi ini menghadirkan delapan pembicara utama yang mewakili Holding Perkebunan Nusantara PTPN III, Investment Advisory Office dari Singapura, PT Research Perkebunan Nusantara (RPN) / Asosiasi Penemu Indonesia (AII), Mitra IRRDB dari Malaysia, RIKEN Research Institute dari Jepang, BKPM, Asosiasi Negara Penghasil Karet Alam (ANRPC) dan International Rubber Study Group (IRSG).  

BACA JUGA: Kejayaan Industri Ban Nasional Kembali, PTPN Group Siapkan Strategi Kebangkitan

Ketua Panitia IRC 2024 Suroso Rahutomo mengatakan: “Acara ini membahas berbagai topik seperti industri karet berkelanjutan, produksi, perlindungan tanaman, teknologi produksi, pengelolaan lingkungan dan ekonomi masyarakat”.

Ia meyakini masih ada peluang untuk menghidupkan kembali karet alam. Namun untuk mendorong kerja sama, perlu diterapkan model ekonomi sirkular (no waste) dan memanfaatkan peluang karet alam sebagai bahan baku untuk diperdagangkan.  

“Peran pemerintah dan pemangku kepentingan perlu diperkuat dalam pengembangan usaha karet alam, terutama dalam memfasilitasi regenerasi kebun petani yang pohonnya sudah tua,” ujarnya.

Ia menambahkan, karet alam telah menjadi penggerak perekonomian bagi pembangunan daerah pedesaan di pulau-pulau besar seperti Sumatera, Jawa, dan Kalimantan serta menopang kehidupan sekitar 2,1 juta keluarga.

Karet alam juga berperan penting dalam sektor pertanian Indonesia sebagai komoditas strategis, dengan kontribusi asing sebesar US$1,76 miliar pada tahun 2023. 

Karet juga memiliki sifat ramah lingkungan seperti kemampuannya dalam menyerap karbon dalam jumlah besar serta perannya dalam konservasi tanah dan air.

“Industri karet alam global saat ini menghadapi berbagai tantangan yang dapat mengancam keberlangsungan industri tersebut di masa depan,” ujarnya. Khususnya di Indonesia, kinerja industri karet alam masih belum optimal.” 

Hal ini terlihat dari penurunan volume produksi karet dalam negeri sebesar 3,60% selama 5 tahun terakhir sehingga berdampak pada penurunan pasokan bahan baku karet untuk pabrik karet. 

“Kekurangan pasokan ini berdampak besar pada ekspor karet alam Indonesia yang mengalami penurunan sebesar 8,36% per tahun. Dalam beberapa tahun terakhir, lebih dari 50 perusahaan karet kecil terpaksa tutup karena kekurangan bahan baku.

Banyak faktor yang menyebabkan tidak efisiennya industri karet alam di Indonesia, termasuk rendahnya harga karet selama beberapa dekade, yang menyebabkan banyak petani meninggalkan perkebunan karet, menghentikan penambangan, dan menunda renovasi pabrik atau bahkan mengganti karet dengan barang lain.

Pada saat yang sama, penyakit Pestalotiopsis mulai muncul pada tahun 2018 dan menurunkan hasil panen sebesar 40%. Selain itu, variabilitas iklim, seperti musim kemarau atau musim hujan, merupakan faktor pembatas produksi.

Hal ini juga meningkatkan biaya tenaga kerja, pupuk, pestisida dan sumber daya produksi lainnya setiap tahun. Selain itu, industri hilir berbasis karet alam dalam negeri masih belum berkembang sehingga pemasaran karet alam Indonesia sangat bergantung pada ekspor.

Terdapat juga tantangan dalam meningkatkan produktivitas per unit lahan, menanggapi kenaikan biaya produksi, kekurangan tenaga kerja, perubahan iklim, peningkatan akses, penerapan konsep ekonomi sirkular dan kepatuhan terhadap peraturan internasional seperti Peraturan Kehutanan Uni Eropa (EUDR).

“Semua tantangan ini memerlukan inovasi dan teknologi di berbagai bidang,” katanya.

Penyelenggaraan konferensi ini diharapkan juga menjadi sinyal bagi pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto untuk lebih memperhatikan penderitaan petani karet kecil yang telah lama mencari dukungan pemerintah. (esy/jpnn)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *