saranginews.com, Jakarta – Kelompok suporter Persatuan Sepak Bola Jakarta Utara (Persitara) NJ Mania Football Club meminta agar Pilgub DKI Jakarta 2024 tidak diwarnai politisasi persoalan sepak bola.
Bukan hanya karena takut terhadap calon (Paslon) dan tim pemenangan, tapi semua pihak harus tetap bersahabat dan sepak bola tidak boleh dijadikan isu politik.
Baca Juga: Ahmad Ali-Abdul Karim Akui Mencalonkan Diri di Pilkada Sulteng Atas Perintah Prabowo
Ketua Umum NJ Mania Parid mengatakan, wajar jika kontestan politik melakukan pendekatan untuk menggalang dukungan dari berbagai pihak.
Namun isu yang berkembang belakangan ini membuat sepak bola menjadi komoditas politik yang berpotensi memecah belah ekosistem sepak bola.
Baca Juga: Polres Siak Gandeng TNI dan Pemerintah Kampanyekan Pilkada Damai Lewat Podcast
“Tidak ada salahnya setiap pasangan calon berusaha menjalin hubungan dan mendapatkan dukungan dari salah satu kelompok besar pendukung klub. Yang menjadi permasalahan adalah ketika terjadi politisasi dan konflik identitas yang berpotensi memicu gesekan mendasar,” katanya. .
Pared menjelaskan, secara sosial dan psikologis, suporter umumnya memiliki sifat loyal dan agresif.
Baca Juga: Survei LKPI menyebut elektabilitas Andika-Hendi di angka 64,8 persen, berpotensi menang Pilkada Jateng.
Tak hanya setia dan agresif dalam memberikan dukungan dari pinggir lapangan, suporter sepak bola adalah mereka yang menjadikan klub idolanya sebagai bagian dari jati dirinya.
Sebagian besar anggota dukungan adalah kaum muda yang secara mental masih dalam proses menemukan jati diri dan tidak stabil, tambah Parrid.
Oleh karena itu, menimbulkan konflik yang tajam dan emosi yang membara serta permasalahan perbedaan identitas pihak klub yang lalai akan berujung pada konflik.
Dengan mempertimbangkan semua faktor tersebut, menurut Paris, politisasi isu sepak bola akan berdampak luas dan bertahan lama di masa depan.
Tidak akan berhenti ketika seruan tersebut berakhir, dampak dari perpecahan yang muncul akan menjadi akar permasalahan dan ketidakamanan sosial yang baru.
“Jangan berpura-pura, misalnya A pendukung Biru dan pendukung Oranye sebagai musuh. Bukan hanya berdampak pada pemilihan gubernur, pasti akan bertahan lama,” tegasnya.
Parede mengenang, kini kepemimpinan Eric Tohir di PSSI sedang berupaya untuk menyelaraskan ekosistem sepakbola. Menurut Parede, ia tak hanya berupaya meraih prestasi, namun juga memaknai visi sepak bola PSSI saat ini sebagai alat pemersatu bangsa.
Selain mengingatkan bahaya perpecahan akibat politisasi isu sepak bola, Paride berharap para kandidat bisa memberikan perhatian dan kesempatan yang sama kepada seluruh kelompok masyarakat di Jakarta.
Ia mencontohkan perlakuan terhadap kelompok masyarakat lanjut usia di Kampung Bayam, sehingga tidak diberikan keistimewaan dan kesempatan yang sama seperti warga lainnya untuk mendapatkan hunian di Rusun JIS.
“Pembangunan JIS dan rumah susun berasal dari uang warga Jakarta. Kesempatan eksklusif mereka untuk membeli apartemen akan menimbulkan rasa iri dan ketidakadilan di masyarakat,” ujarnya.
Oleh karena itu, dia menghimbau para calon cagub dan cawagub untuk mempelajari lebih dalam tentang akar budaya dan sosial DKI Jakarta agar dapat memahami secara utuh berbagai hal yang ada di Jakarta.
Seperti halnya klub sepak bola pada masa persatuan, dibangun di atas fondasi kota dan DKI Jakarta kini terdiri dari 5 kota dan 1 wilayah administratif.
“Bertemu dengan Bang Folk sudah merupakan langkah yang baik dalam memahami budaya pulau ini. Namun kami juga berharap dapat mempelajari akar sosial lainnya sehingga langkah Jakarta menuju kota global semakin lambat dan lancar,” ujarnya. (Dil/JPNN)