saranginews.com, JAKARTA –
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Topo Santoso angkat bicara soal putusan kasus korupsi Mardani H. Maming.
BACA LEBIH LANJUT: Para ahli menilai PK Mardani Maming merupakan langkah penting menuju otoritas hukum Indonesia
Menurutnya, banyak kesalahan yang dilakukan hakim dalam memutus perkara Mardani H. Maming.
Kesimpulan yang dapat diambil secara singkat adalah bahwa putusan tersebut jelas-jelas menunjukkan kesalahan hakim atau kesalahan yang nyata, jelas Topo dalam keterangannya, Senin (14/10).
BACA JUGA: Pengamat menilai tes PK Mardani Maming tidak mendukung pemberantasan korupsi
Pendapat hukum serupa diungkapkannya dalam konferensi buku bertajuk “Mengungkap Kekeliruan dan Kesalahan Hakim dalam Sidang Perkara Mardani H. Maming” yang digelar di Yogyakarta, pekan lalu. Buku tersebut memperlihatkan proses persidangan yang disebut-sebut penuh kesalahan dalam kasus korupsi Mardani H. Maming.
Topo mengembangkan tiga pertanyaan hukum utama yang menjadi dasar kesalahan ini. Pertama, fitur “Terima Hadiah” tidak valid.
BACA JUGA: Pakar Sebut Sidang PK Mardani Maming Jangan Jadi Senjata untuk Mengintimidasi Mahkamah Agung
“Karena dalam dunia usaha dan penilaian warga negara sebagai imbalan, dividen dan pinjaman serta penerimaannya dihilangkan seolah-olah memenuhi bagian ‘menerima hadiah’. Ini satu lagi gedung Kejaksaan (JPU) yang diterima hakim,” jelas Guru Jurusan Hukum Pidana Universitas Indonesia itu.
Persoalan kedua adalah penggunaan faktor “kecurigaan yang masuk akal” tidak tepat. Sebab faktor “kecurigaan yang wajar” digunakan untuk membuktikan kesalahan (kelalaian) terdakwa. Namun, menurut Topo, pasal tersebut kurang layak digunakan dalam kasus korupsi yang seharusnya lebih menekankan pada opzet (tindakan yang disengaja).
Perbuatan terdakwa menyebabkan Keputusan Bupati tersebut diuji berdasarkan Hukum Tata Usaha Negara dan tidak perlu dipermasalahkan dalam Hukum Pidana.
“Urusan bisnis seperti pertukaran antar perusahaan atau pinjaman merupakan urusan pemerintahan yang harus dipisahkan dari kegiatan kriminal,” jelasnya.
Selain itu, ada putusan Pengadilan Niaga yang dikukuhkan dan dinyatakan merupakan perjanjian antar perusahaan. Oleh karena itu, jika sudah ada kesepakatan dan putusan pengadilan, maka tidak dapat dikatakan “perjanjian diam-diam”.
Pertanyaan ketiga, menurut Prof. Di atas, merupakan kekeliruan penerapan Pasal 12 ayat b UU PTPK, ketika Majelis Hakim Pertama yang putusannya dikuatkan oleh pengadilan banding dan kasasi salah menyatakan seluruh pasal tersebut. 12 terpenuhi ayat b Undang-Undang Pemberantasan Korupsi (PTPK).
“Tidak terlihat mens rea (niat buruk) dari perbuatan terdakwa. Prosedur hukum telah dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku, tanpa ada hubungan sebab akibat antara putusan terdakwa dengan penerimaan saham, pembayaran atau saham yang dianggap sebagai hadiah”, tegas Prof. Top.
Berdasarkan hasil uji hukum tersebut, Profesor Topo mengatakan Mardani H. Maming harus dianggap bebas. Ia juga menilai Mahkamah Agung harus mengembalikan kehormatan dan martabat terdakwa seperti keadaan sebelumnya.
“Melihat dari dokumen-dokumen yang saya pelajari, seluruh putusan awal pengadilan, banding dan perkara, saya berkesimpulan memang ada kekeliruan dalam penanganan perkara ini”, pungkas Prof. Atas.