saranginews.com, JAKARTA – Salah satu perusahaan tekstil terbesar, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang dengan utang Rp 24 triliun.
Industri tekstil dan pakaian jadi di negara ini juga diperkirakan sedang menghadapi badai besar.
BACA JUGA: Pekerja Sritex menangis setelah Wakil Menteri Tenaga Kerja Immanuel Ebenezer meyakinkan tidak akan ada PHK.
Akibat bangkrutnya Sritex, 20.000 pekerjanya terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), serta menimbulkan efek domino yang bisa mengguncang seluruh sektor industri TPT di Indonesia.
Ekonom veteran UPN Jakarta dan pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat mengatakan Sritex merupakan salah satu ikon kebanggaan industri tekstil dalam negeri yang tidak hanya beroperasi di pasar dalam negeri tetapi juga dikenal di pasar global.
BACA JUGA: Dinyatakan Bangkrut, Sritex Buka Suara Soal Keputusan Batalkan Persetujuan
Namun kasus PHK massal yang dialami perusahaan tekstil besar seperti Sritex menunjukkan adanya persoalan mendalam pada kebijakan perdagangan yang diterapkan pemerintah.
Salah satu kebijakan yang mendapat perhatian, menurut Nur Hidayat, adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 (Permendag 8) yang dinilai sangat memukul industri TPT dalam negeri.
BACA JUGA: Agus Gumiwang: Pemerintah utamakan penyelamatan pegawai Sritex
Sritex dan beberapa perusahaan TPT lain yang telah menopang perekonomian dan menyediakan lapangan kerja kini terancam bangkrut, salah satu penyebabnya adalah membanjirnya produk TPT impor yang jauh lebih murah.
Dampaknya sudah terasa, banyak perusahaan yang mengurangi produksi bahkan harus melakukan PHK besar-besaran untuk bisa bertahan. Permendag 8 ini bertujuan untuk mengatur kebijakan impor agar lebih terstruktur, kata Nur Hidayat saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa. . (29/10).
Namun dalam praktiknya peraturan ini membuka keran impor terlalu besar, terutama untuk tekstil murah asal Tiongkok.
“Dengan mudahnya akses produk impor yang lebih murah, produk lokal sulit bersaing,” kata Nur Hidayat.
Nur Hidayat mengatakan tingginya biaya produksi di Indonesia memberikan tekanan pada produsen tekstil dalam negeri, sementara produk impor yang lebih murah membanjiri pasar.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak perusahaan TPT dalam negeri yang bangkrut karena kesulitan menurunkan harga hingga mampu bersaing dengan produk luar negeri.
Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan ini, terutama bagian yang memudahkan masuknya produk impor tanpa batasan kuota atau persyaratan khusus.
Jika hal ini dibiarkan terus, produsen tekstil lokal yang kesulitan bersaing akan terus mengalami kegagalan. Bukan hanya Sritex yang mengalami kesulitan; Banyak produsen kecil dan menengah lainnya juga merasakan dampak yang sama.
“Dalam jangka panjang, ketergantungan terhadap produk impor akan mengancam keberlangsungan industri TPT dalam negeri yang seharusnya menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia,” kata Nur Hidayat.
Ia menegaskan persepsi Permendag 8 “membunuh” industri TPT cukup beralasan. Berlanjutnya kedatangan produk tekstil impor telah menekan harga di pasar lokal dan perusahaan nasional terpaksa menurunkan harga untuk bersaing.
Nur Hidayat menjelaskan, bagi perusahaan besar seperti Sritex, permasalahan ini berujung pada pengambilan keputusan yang sulit, seperti PHK massal atau bahkan kebangkrutan.
“Bagi perusahaan kecil tekstil, dampaknya lebih cepat dirasakan karena tidak mempunyai modal yang banyak untuk menutup kerugian atau mengurangi tekanan pasar. Akibatnya, semakin sulit bagi pengusaha kecil dan menengah di sektor ini untuk bertahan”, katanya. .
Namun, Peraturan Menteri Perdagangan 8 bukan satu-satunya permasalahan yang dihadapi industri TPT nasional. Tingginya biaya produksi, termasuk harga listrik dan bahan baku, merupakan tantangan berat bagi produsen lokal. Di negara pesaing seperti Vietnam dan Bangladesh, biaya produksi tekstil jauh lebih rendah.
Hal ini membuat produk mereka memiliki keunggulan di pasar global, sementara produsen lokal Indonesia harus mengeluarkan biaya yang tinggi sehingga membuat harga produk mereka menjadi tidak kompetitif.
Pemerintah dapat membantu menekan biaya produksi dengan memberikan subsidi atau insentif energi kepada produsen tekstil agar lebih kompetitif di pasar.
Selain biaya produksi, industri TPT nasional juga menghadapi permasalahan akses bahan baku berkualitas. Banyak perusahaan terpaksa mengimpor bahan baku karena kualitas bahan baku lokal seringkali tidak memenuhi standar.
“Untuk mengatasinya, pemerintah dapat membantu mengembangkan industri bahan baku dalam negeri atau memperkuat kerja sama dengan pemasok lokal agar perusahaan tekstil tidak terlalu bergantung pada bahan baku impor,” tutup Nur Hidayat (mcr10/jpnn).