saranginews.com, Jakarta – Andri Satrio Nugroho, Kepala Pusat Perindustrian, Perdagangan, dan Investasi Institut Pembangunan Ekonomi dan Keuangan (INDEF), mengatakan berdasarkan hasil kajian INDEF, dampak kebijakan proyek terhadap ekonomi, jelas pemersatu. kemasan rokok tanpa identitas merek bisa mencapai Rp 308 triliun.
Menurut Andrey, usulan aturan tersebut akan meningkatkan prevalensi rokok ilegal di masyarakat.
Baca Juga: Petunjuk Pengemasan Seragam Dinilai Tindakan Diskriminatif Terhadap Merek Rokok Elektronik
Tanpa adanya merek dan identitas yang jelas, produk ilegal akan lebih mudah menyerupai produk legal yang ada di pasaran.
“Produsen rokok tidak perlu lagi khawatir dengan desain kemasan yang rumit. “Dengan adanya regulasi kemasan tanpa identitas merek, mereka bisa langsung mendorong produknya ke pasar dan sulit bagi pemerintah untuk memantau dan mengidentifikasi produknya,” ujarnya dalam diskusi, “Target Pertumbuhan Ekonomi 8%: Tantangan Baru Industri Tembakau Kebijakan.” ‘, Selasa, (5/11).
Baca Juga: SIG dukung pembangunan infrastruktur dan perumahan dengan semen hijau dan ajak semua pihak untuk bersinergi
Selain itu, Andrey mengungkapkan, jika aturan tersebut disahkan, terdapat potensi kerugian sebesar Rp160,6 triliun atau sekitar 7% penerimaan pajak dari penerimaan negara sehingga menyulitkan pencapaian target penerimaan negara.
Jika aturan ini diterapkan maka target pendapatan negara sebesar Rp 218,7 triliun pada tahun ini tidak akan tercapai.
Baca Juga: Bareng Tiga Menteri, Dirut BTN Bahas Solusi Capai Program 3 Juta Rumah
Pasalnya, industri tembakau berkontribusi signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Sebelum pandemi COVID-19, industri ini menyumbang hingga 6,9% terhadap PDB, namun angka tersebut terus menurun setiap tahunnya.
Berdasarkan data INDEF, sekitar 2,29 juta orang atau sekitar 1,6% dari total angkatan kerja akan terkena dampak langsung dari peraturan ini.
“Pada tahun 2019, industri ini mempekerjakan 32% dari seluruh pekerja manufaktur. “Namun tekanan peraturan terus membuat pekerja di sektor ini rentan terhadap konsekuensinya,” jelasnya.
Ia menekankan perlunya diskusi tingkat menteri dalam menentukan kebijakan terkait industri tembakau agar berdampak lebih luas.
Menurutnya, kebijakan tersebut bukan urusan Kementerian Keuangan atau Kementerian Kesehatan, melainkan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Tenaga Kerja juga harus dilibatkan.
Selain itu, aturan zonasi dalam PP 28/2024 yang melarang penjualan rokok dalam jarak 200 meter dari lembaga pendidikan dan taman bermain anak dinilai merugikan pengecer yang sebelumnya beroperasi di kawasan tersebut.
“Kebijakan sektoral ini perlu ditinjau kembali untuk menjaga keseimbangan antara regulasi kesehatan dan kelangsungan usaha,” tegasnya.
Di sisi lain, rancangan peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur kemasan rokok seragam tanpa merek bertentangan dengan kedaulatan ekonomi Indonesia dan mengancam industri tembakau nasional (chi/jpnn).