saranginews.com, JAKARTA – Sidang perkara korupsi sistem tata niaga komoditas timah (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 yang melibatkan nama Harvey Moeis berlanjut pada Senin (02/09).
Kasus ini juga menyoroti perlunya reformasi pengelolaan sumber daya alam, khususnya dalam hal tata kelola dan pengawasan. Dalam persidangan yang berlangsung, berbagai bukti dan saksi dihadirkan. Proses pembuktian yang menyeluruh dan transparan menjadi kunci mengungkap fakta dibalik kasus yang dituduhkan.
BACA JUGA: Mereka Usut Kasus Korupsi di Taspen, KPK Panggil Direktur Perusahaan Investasi
Dalam persidangan ini, para saksi sepakat menjelaskan dampak positif pertambangan rakyat terhadap hasil perusahaan, meski beberapa pihak menuding pertambangan rakyat sebagai kegiatan ilegal.
Awalnya majelis hakim membenarkan apakah memang ada peningkatan produksi bijih timah dari tahun 2019 di PT Timah. Apalagi ada kerja sama dengan smelter swasta.
BACA JUGA: Komisi Pemberantasan Korupsi memanggil Elviani terkait korupsi pengadaan tanah Pemprov DKI Jakarta
Benar, meningkat signifikan pak, jelas mantan Kepala Irjen UPDB Bangka Musda Ansori dalam keterangannya di persidangan.
Dia menjelaskan, masyarakat yang dulunya menambang bisa dikatakan pernah melakukan aktivitas ilegal. Namun pihak perusahaan, dalam hal ini PT Timah, berupaya menyelamatkan timah hasil penambangan dengan membelinya dari penambang lokal.
BACA JUGA: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Cecars Edy Soetrisno soal pembelian obligasi PT Taspen yang jadi skandal korupsi
“Ada penambahan tradisional ada yang semi modern yang menggunakan alat,” jelasnya.
Dalam sidang yang sama, evaluator PT Timah Apit Rinaldi juga dihadirkan sebagai saksi. Berdasarkan keterangannya, para penambang dari masyarakat atau yang disebut juga penambang rakyat melakukan aktivitasnya dengan bermitra bersama PT Timah.
“Masyarakat yang mempunyai hak atas tanah di IUP PTT berhak bekerjasama dengan PTT yang bentuknya bisa berbeda-beda,” jelasnya.
Kemitraan dengan penambang rakyat itu dijabarkan atau disahkan melalui Instruksi Direktur PT Timah Nomor 030 Tahun 2008 tentang Perlindungan Kekayaan PT Timah.
Hal ini dilakukan agar timah hasil penambangan masyarakat tidak diekspor atau dijual secara ilegal kepada pesaing atau pihak yang tidak berkepentingan, meskipun tanah tempat kegiatan penambangan berada dalam wilayah IUP (Izin Usaha Pertambangan) adalah milik. oleh PT Timah.
“Terdapat akulturasi antara kewajiban PT Timah untuk menyelesaikan hak atas tanah dengan memberikan kerja sama pertambangan kepada pemilik tanah (kemitraan) dengan cara pembayaran per ton rupiah dan harga yang ditetapkan oleh PT Timah,” lanjut Apit.
Apit menambahkan, meski beroperasi di wilayah IUP PT Timah, namun penambang rakyat tidak wajib melakukan reklamasi.
Kewajiban melakukan reklamasi tetap menjadi kewajiban PT Timah yang diwujudkan dengan membayar Dana Jaminan Pemulihan Lingkungan Hidup yang dibayarkan perusahaan pada saat mengajukan IUP wilayah pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1). 2 huruf (a) UPPLH.
Dana Jaminan Pemulihan Lingkungan Hidup adalah dana yang dibentuk oleh perusahaan dan/atau kegiatan untuk memulihkan kualitas lingkungan hidup yang rusak akibat kegiatannya.
Mitra IUJP tidak ada kewajiban pemulihan, kewajiban pemulihan tetap pada PTT, sebaliknya PTT adalah perencanaan wilayah yang akan diselenggarakan sebagai upaya pemulihan atau perbaikan lingkungan hidup, jelas Apit.
Saksi kedua yang dihadirkan adalah Doni Indra selaku rekanan UPT Pertambangan Tanah. Dalam persidangan, dia memberi kesaksian tentang awal mula kerja sama dengan PT Timah. Dia menjelaskan, pihaknya merupakan salah satu pemilik lahan di kawasan tersebut, meski ada IUP atas nama PT Timah.
Doni menjelaskan, awalnya ia memiliki lahan seluas 10 hektar dan mengajukan permohonan kerja sama dengan PT Timah, dan saat dicek ternyata tanahnya masuk dalam IUP PT Timah dan kemudian ia bisa bekerja sama dengan PT Timah.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 136 UU Minerba yang menyatakan bahwa pemilik IUP harus memenuhi hak atas tanahnya sebelum melaksanakan pekerjaan.
Bentuk kemitraan dengan masyarakat ini sendiri dinilai win-win solution karena lahan yang dikuasai PT Timah sebenarnya sangat kecil dibandingkan total luas lahan IUP PT Timah sehingga menimbulkan konflik antara masyarakat dan PT Timah.
Dengan model kemitraan dengan pemilik tanah lokal seperti Doni, PT Timah tetap bisa mendapatkan logam lembaran di wilayah IUP-nya, sementara pemilik tanah lokal juga mendapatkan hak ekonomi atas tanahnya.
“Dalam hal lahan tambang milik saksi ditambang, maka tanah tersebut tetap menjadi milik saksi, begitu pula seluruh mitra pertambangan yang bekerja sama dengan PT Timah untuk memanfaatkan wilayah tambangnya,” kata Doni. (cuy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA… Penyidikan dugaan korupsi di BPBD OKU Timur Berhenti karena tuduhan, kok bisa?