Pakar Ekonomi Beber Hambatan Perkembangan Industri Otomotif

saranginews.com – Para ahli mengungkap nasib buruk industri otomotif Indonesia yang terkena dampak perjanjian eksklusivitas. Hal itu diungkapkan oleh salah satu panel VI. Konferensi Internasional Hukum dan Pemerintahan dalam Konteks Global (icLave) 2024 yang diselenggarakan pada tanggal 4 dan 5 November di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Jakarta.

Diselenggarakan sejak tahun 2017, konferensi ini bertujuan untuk memberikan perkembangan terkini dalam hukum internasional dan kebijakan publik.

BACA JUGA: ADI Gandeng Beifang Tingkatkan Kompetensi Guru dan Siswa di Bidang Otomotif

Konferensi tersebut dihadiri oleh Mone Stepanus, Guru Besar FEB Universitas Indonesia; Dian Parluhutan, Guru Besar Hukum Persaingan Universitas Pelita Harapan (UPH); dan Guntur Saragih, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPN Veteran Jakarta, memaparkan kajian ilmiah terkait apa yang menghambat industri otomotif. Salah satu poin utamanya adalah terkait perjanjian eksklusivitas. 

“Perjanjian eksklusivitas ini penting kita buka di forum internasional untuk menunjukkan kondisi persaingan di Indonesia yang memerlukan perhatian lebih dari pemerintah dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),” kata Mone Stepanus dalam pengumumannya yang dikutip, Kamis. (7/11). 

BACA JUGA: Harga Emas Antam Turun Drastis Hari Ini, Kamis (7/11), Berikut Daftarnya

Menurut Depdiknas, jika perjanjian ini terus dilaksanakan, terdapat risiko iklim persaingan usaha tidak kondusif dan dapat menghalangi pemain baru untuk berinvestasi dan memasuki pasar otomotif di Indonesia.

Industri otomotif di Indonesia didominasi oleh lima pabrikan besar: Toyota, Daihatsu, Honda, Suzuki, dan Mitsubishi Motors. Mereka menguasai 82,3 persen total produksi nasional. Mone menjelaskan, industri otomotif Indonesia sedang menghadapi tantangan. 

BACA JUGA: Kasus Guru Terhormat Supriyani Runtuh: Kejaksaan Kehilangan Pekerjaan, Polisi Selidiki Propam

“Ada beberapa kondisi yang menjadi pemicu terjadinya praktik monopoli atau oligopolistik, baik melalui perjanjian vertikal maupun horizontal antar produsen,” ujarnya dalam acara yang menghadirkan pembicara dari beberapa universitas di Indonesia dan beberapa pembicara asing dari Universitas Leiden. Universitas Chulalongkorn, Universitas Sydney Barat dan Universitas Monash.

Mone mengatakan tidak jarang produsen mobil mengadakan perjanjian horizontal atau vertikal untuk mendominasi pasar. 

“Perjanjian vertikal adalah kontrak yang dilakukan oleh perusahaan induk berdasarkan tempat asal, seperti Toyota Jepang yang melakukan kontrak dengan perwakilan merek eksklusif (ATPM) di Indonesia, yaitu PT Astra International,” Mone mencontohkan. . 

Selain itu, juga terjadi fenomena Perwakilan Penjualan Eksklusif (ATPM) yang mengadakan perjanjian eksklusivitas dengan distributor yang menjadi tanggung jawabnya. Menurutnya, hal tersebut merupakan trik untuk meningkatkan volume penjualan mobil tertentu. 

“Di sisi lain, ada yang harus diwaspadai karena kesepakatan eksklusivitas ini membuat distributor semakin sulit mengembangkan usahanya,” ujarnya.  

Dian Parluhutan menambahkan, meski industri otomotif dinilai sebagai industri strategis, namun terdapat risiko yang timbul akibat praktik perjanjian eksklusivitas yang tidak sehat.

Tidak jarang dealer mengadakan perjanjian eksklusivitas dengan dealer yang mengharuskan dealer untuk meminta izin kepada dealer jika mereka memulai perusahaan baru yang menjual produk otomotif merek lain.

Dengan kata lain, investor dilarang menjual merek lain, meskipun mendirikan badan usaha baru yang tidak terkait dengan hak kekayaan intelektual pemilik merek atau distributor. Perjanjian eksklusivitas ini berdampak negatif pada lingkungan persaingan di sektor otomotif. 

“Praktik seperti ini dapat menimbulkan hambatan bagi pendatang baru yang kesulitan bersaing dengan produsen besar yang sudah menguasai pasar,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya pengawasan ketat yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Ekonomi (KPPU) untuk memastikan persaingan yang sehat tetap terjaga. 

Dian menambahkan, KPPU dan asosiasi perdagangan otomotif harus segera bertindak proaktif untuk merumuskan peraturan khusus di bidang otomotif. Cara ini dapat mendukung ekosistem persaingan yang efisien dan sehat.

Relevansi UU No. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat juga mendapat perhatian. Menurut dia, penerapan perjanjian eksklusivitas di bidang otomotif melanggar UU 5/1999. Meski sudah diatur dalam undang-undang, namun tak jarang ada saja yang nakal. Hubungan kekuasaan antara ATPM dan pengecer bisa menjadi peluang untuk menghindari UU 5/1999.  

Dian juga menegaskan, perjanjian eksklusivitas ini dilarang di Indonesia. “Meskipun peraturan sudah ada, namun implementasinya seringkali belum maksimal. “Industri memerlukan regulasi yang lebih komprehensif untuk mendorong lingkungan persaingan yang sehat,” kata Dian.

Sementara itu, Guntur menyatakan kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan KPPU diperlukan untuk mendorong inovasi dan investasi berkelanjutan di sektor otomotif. Selain itu, pada tahun 2023 ekspor sektor otomotif meningkat sebesar 5,96% (year-on-year). 

“Industri otomotif tidak hanya memberikan kontribusi terhadap perekonomian, tetapi juga menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 1,5 juta orang di seluruh Indonesia,” tutupnya. (esy/jpnn)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *