saranginews.com, JAKARTA – Menteri Pariwisata Kabinet Merah Putih Vidyanti Putri punya sejumlah pekerjaan rumah yang harus diprioritaskan untuk diselesaikan. Hal ini konsisten dengan beberapa permasalahan yang belum terselesaikan pada periode-periode sebelumnya.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengungkap permasalahan di industri pariwisata yang tidak disorot pemerintah. Salah satunya terkait aktivitas online travel agent (OTA) asing di Indonesia.
Baca juga: PHRI Sampaikan Pesan ke Prabowo Soal Calon Menteri Pariwisata Ideal
Hal ini terkait dengan adanya OTA asing yang tidak memiliki badan usaha tetap (BUT) di Indonesia sehingga disinyalir tidak mematuhi ketentuan yang berlaku. Salah satu praktiknya adalah membebankan PPN dan pajak pasokan kepada hotel, yang jelas merugikan sektor akomodasi lokal di tengah pemulihan pascapandemi.
Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusaran pada Selasa (29/10) mengatakan, “Masalah regulasi dan birokrasi kerap menjadi kendala bagi pelaku usaha pariwisata. Salah satu permasalahan utamanya adalah adanya OTA asing yang beroperasi tanpa badan usaha tetap (BUT).”
Baca Juga: Soroti Perjalanan ke Luar Negeri, PHRI Minta Pemerintah Bersikap Adil
Situasi ini merugikan industri akomodasi, karena otoritas lokal asing tidak membayar pajak dan menerapkan sistem flat rate yang membatasi harga jual hotel.
“OTA asing tidak punya NPWP, jadi industri lokal yang menanggung pajak 20%. Itu beban yang besar,” jelas Alan, nama penanya.
Baca juga: INCCA dan Asperapi Tanya Profesi yang Paham MICE ke Menpar
Nailul Hooda, Direktur Pusat Ekonomi Digital untuk Studi Ekonomi dan Hukum (SELIOS), sependapat dengan adanya permasalahan terkait pajak hotel.
Menurut dia, dalam transaksi penjualan voucher hotel, seharusnya pemerintah daerah asing yang memungut dan menyetorkan pajak pertambahan nilai (PPN) ke pemerintah, bukan ke hotel.
“Ketika OTA luar negeri membeli (voucher) hotel dan menjualnya kembali ke pelanggan, mereka harus menerbitkan invoice yang sudah termasuk PPN. Ini menjadi masalah jika pajak tidak dipungut oleh OTA,” ujarnya.
Pajak OTA ini harus menjadi fokus pemerintahan baru untuk menegakkan aturan yang lebih ketat. Ia juga mencontohkan, diskon yang sering ditawarkan oleh OTA asing dapat merugikan hotel.
Diskon yang diberikan pemerintah daerah berasal dari keringanan pajak yang tidak dibayarkan, sedangkan hotel tetap harus membayar PPN meski sudah menurunkan harga, kata Huda.
Hal ini semakin mempersulit posisi hotel karena tidak hanya bersaing dalam harga, namun juga menanggung beban pajak yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Lebih lanjut HUDA menekankan perlunya mengatur secara jelas siapa yang memungut, siapa yang memungut, dan siapa yang membayar pajak.
“Pemerintah harus memastikan OTA asing yang beroperasi di Indonesia harus mematuhi peraturan perpajakan yang berlaku,” ujarnya.
Jika situasi ini dibiarkan, seluruh industri pariwisata akan terus berjalan karena banyak orang yang berwisata. Namun di sisi lain, OTA dalam negeri akan terkena dampak negatif karena pangsa pasarnya akan berkurang oleh OTA luar negeri dan hotel juga akan terkena dampaknya.
“Dengan regulasi yang tepat, industri pariwisata bisa tumbuh lebih baik, memberikan manfaat bagi semua pihak, termasuk konsumen dan pelaku usaha lokal,” tutupnya. (esy/jpnn)