saranginews.com, JAKARTA – Luhut Binsar Pandjaitan resmi menjabat sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Teknologi Digital dan Pemerintahan. serta Presiden Dewan Ekonomi
Pelantikan Luhut Binsar berlangsung dua hari berturut-turut. Khususnya, Ketua Dewan Ekonomi pada Senin (21/10) dan Penasihat Khusus Presiden Bidang Digital dan Teknologi Pemerintahan pada Selasa (22/10).
BACA JUGA: Prabowo Tunjuk 7 Penasihat Presiden Sebagai Wiranto Luhut Binsar
Ekonom UPN dan veteran kebijakan publik Achmad Nur Hidayat menilai penunjukan Luhut Binsar menimbulkan tiga permasalahan tersembunyi bagi Prabowo ke depan.
Pertama, penunjukan Luhut pada dua posisi penting tersebut. Mengabaikan potensi sumber daya manusia (SDM) lain yang berkualitas yang dapat memenuhi peran strategis tersebut
Baca Juga: Apa Tugas Luhut Binsar di Kabinet Merah Putih?
Ada banyak pakar dan teknokrat berbakat di Indonesia. Namun keputusan tetap memilih Luhat Binsar mencerminkan lemahnya komitmen pemerintah dalam mendorong pemulihan kepemimpinan.
“Sepertinya ini menutup kemungkinan munculnya orang baru. yang dapat membawa ide dan inovasi baru dalam kebijakan ekonomi dan transformasi digital pemerintah,” kata Noor Hidayat.
Kedua, menurutnya hal itu membahayakan kepentingan dan transparansi. Gara-gara Luhut, Binsar dikenal punya jaringan luas bisnis keluarga yang terkait dengan berbagai proyek berskala besar.
“Meningkatkan risiko konflik kepentingan Beberapa proyek besar seperti hilirisasi nikel dan infrastruktur kerap dikritik karena kurang transparan dalam pengelolaannya. serta dugaan keterlibatan perusahaan yang terkait dengan Luhut dan keluarganya,” jelas Nur Hidayat.
Selain itu, pada posisi Staf Khusus Presiden Bidang Teknologi Digital dan Pemerintahan, potensi konflik kepentingan ini bisa jadi lebih serius. Mengingat pesatnya perkembangan teknologi dan peran serta pihak swasta
“Kurangnya transparansi proyek-proyek tersebut dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah,” tegas Noor Hidayat.
Ketiga, Noor Hidayat menyampaikan, penempatan Luhat Binsar memiliki dua posisi strategis. Pemerintahan Prabowo berisiko mengulangi pola sentralisasi yang berlebihan. Seperti yang terjadi pada masa Jokowi.
Pemusatan kekuasaan pada satu orang tidak hanya menciptakan kepercayaan terhadap keputusan individu; Namun hal ini juga melemahkan pemerintahan demokratis.
Hal ini merugikan pengembangan kebijakan publik, yang seharusnya dilakukan melalui mekanisme yang lebih terbuka dan partisipatif.
“Ini mencerminkan penunjukan Luhut bukan hanya soal kemampuan pribadi. Tapi juga soal tata kelola yang baik, transparansi, dan pemulihan kepemimpinan yang harus menjadi prioritas dalam pemerintahan,” kata Noor Hidayat.
Ia mengatakan, perlu adanya evaluasi terhadap kinerja para pejabat yang menduduki posisi penting di pemerintahan.
Penting untuk mengevaluasi secara terbuka kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat sebelumnya. Sebab, tidak hanya mempengaruhi perkembangan kebijakan ke depan. Namun hal itu juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Noor Hidayat menegaskan, evaluasi terhadap kinerja pejabat di masa lalu diperlukan untuk mengukur sejauh mana kebijakan dan program yang dijalankan berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
“Tanpa adanya evaluasi yang transparan, kebijakan-kebijakan yang mungkin tidak efektif atau merugikan kepentingan publik bisa saja tidak diperbaiki,” simpul Noor Hidayat (mcr10/jpnn) dalam Video Pilihan Editor: