saranginews.com, JAKARTA – Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah merespons tindakan pemerintah dengan penyampaian RAPBN 2025 pada 16 Agustus 2024.
Menurut Said, RAPBN 2025 akan menjadi jembatan antara kedua pemerintahan yakni Presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo Subianto yang resmi memimpin pemerintahan pada 20 Oktober 2024.
BACA JUGA: Soal RAPBN 2025, Abdullah mengatakan: Waspadai tren negatif indikator sektor keuangan
“Dengan demikian, RAPBN tahun 2025 harus menjadi wadah pertama untuk memajukan arah presiden terpilih,” kata Abdullah di Jakarta, Selasa (27/8/2024).
Ia mengaku mencermati RAPBN tahun 2025 yang disampaikan pemerintah yang mengusulkan target pembangunan ekonomi tahun 2025 sebesar 5,2%.
BACA JUGA: Said Abdullah mengungkap pokok-pokok kebijakan keuangan saat pidato konferensi RAPBN 2025
“Mari kita mundur sedikit ke tahun 2015 ke tahun 2023, ketika perekonomian negara melebihi target yang ditetapkan APBN pada tahun 2022, dari 5,2 persen yang mereka harapkan dan mampu mencapai 5,31 persen,” kata Pak Said. .
Hal ini, kata Said, mengundang pertanyaan mengapa tujuan pembangunan ekonomi sulit dicapai.
BACA JUGA: DPR menyetujui perkiraan makro sektor ESDM pada RAPBN 2023
“Jawabannya sudah ada di benak kita semua, ada beberapa tantangan yang kita hadapi,” kata Said.
Selain itu, Said menjelaskan permasalahan tersebut antara lain tingginya biaya ekonomi akibat perizinan dan korupsi, ketidakpastian hukum, inefisiensi tenaga kerja, buruknya koordinasi antar daerah, dan menurunnya demokrasi.
“Kami telah mendiskusikan isu-isu berbeda ini sejak lama. “Tapi sepertinya belum ada cukup tenaga untuk keluar dari masalah ini,” ujarnya.
Ia mengatakan, pertumbuhan ekonomi selalu bergantung pada konsumsi rumah tangga. Bahkan konsumsi dalam negeri, yang menjadi tumpuan perekonomian, terancam oleh resesi, serta menurunnya kelas menengah Indonesia.
“Sejak enam tahun lalu, jumlah kelas menengah kita berkurang 8 juta orang. Padahal mereka termasuk kelas yang menggerakkan konsumsi rumah tangga,” kata Said.
Menurut Said, Pimpinan Banggar DPR mendorong pemerintah untuk mencapai kemajuan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang menghambat perekonomian negara.
“Berbicara Visi Indonesia 2045, diperlukan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4%. Perkiraan ini moderat, meski belum mencapai enam persen, ujarnya.
Dia mengatakan kita membutuhkan banyak uang untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi 5.4. Sarannya, konsumsi dalam negeri harus dilindungi dengan inflasi yang tetap rendah, uang yang mendukung penciptaan lapangan kerja baru, dan dengan memberikan nilai tambah pada produk luar negeri.
Kita memerlukan investasi minimal 1,5 persen dan ekspor 0,5 persen sebagai bagian dari pembangunan ekonomi setiap tahunnya. Jadi tulang punggung cinta bukan hanya untuk keperluan rumah tangga saja.
Ia mengatakan, persoalan nilai tukar rupiah selalu membuat kita pusing. Grafik nilai tukar saham kita cenderung melemah seiring berjalannya waktu. Pada tahun 2025, pemerintah mengusulkan nilai tukar Rp 16.100/USD.
Pengurus Banggar DPR berkeras agar nilai tukarnya serendah 15.900/USD.
“Kami yakin dengan adanya transformasi mata uang asing ke nilai yang lebih tinggi, dan penguatan mata uang, serta kombinasi aturan sistem pembayaran yang berbeda dengan banyak mata uang mitra dagang, maka rupiah akan semakin menguat.” Dia bilang begitu.
Pemerintah merekomendasikan suku bunga SBN 10 tahun sebesar 7,1 persen. Suku bunga SBN yang lebih tinggi yang kami lihat telah berubah menjadi suku bunga yang lebih tinggi.
Total tingkat bunga dari tahun 2015 hingga 2023 adalah Rp. 2.569,4 miliar. Dengan imbal hasil obligasi pemerintah yang lebih tinggi dibandingkan negara peers, hal ini membuat situasi keuangan menjadi kurang menguntungkan.
Pemerintah sebaiknya mempelajari dan meningkatkan praktik terbaik negara-negara peers pada level 1-3 persen.
Pengurus Banggar DPR berharap suku bunga SBN bisa lebih rendah dari usulan pemerintah pada uang surat RAPBN 2025, sekitar rata-rata 6,9 persen dan ke depan diharapkan bisa lebih rendah dan bisa menciptakan uang lebih murah. rencana.
Dikatakannya, setiap tahun kita juga menghadapi permasalahan karena menurunnya produksi migas.
Selama periode 2015-2023, defisit perdagangan minyak mentah kumulatif sebesar US$ 147,3 miliar. Hal ini terjadi karena produksi minyak mentah terus menurun dan jumlah konsumsi terus meningkat.
Kita harus mempertimbangkan penetapan target bauran energi baru dan terbarukan sebagai cara untuk meningkatkan indikator dalam APBN.
Langkah ini untuk mengukur kebijakan pergantian listrik kita setiap tahunnya, karena akan berkaitan dengan kebijakan fiskal ke depan,” kata Pak Sad.
Dalam segala hal pembangunan, pengentasan kemiskinan dan kesenjangan sosial, kami menempatkan prioritas pada konstitusi.
Maka rencana pengentasan kemiskinan dan kesenjangan sosial harus diprioritaskan.
Pada pembicaraan pertama antara Banggar DPR dan pemerintah menyepakati angka kemiskinan 7-8 persen, rasio Gini 0,379 – 0,382, dan angka kemiskinan ekstrem 0 persen.
“Pemerintahan Banggar DPR berharap bisa menyepakati indikator kemiskinan dan angka Gini di bawah kesepakatan di atas,” kata Said (jum/jpnn).