saranginews.com, JAKARTA – Hasil penelitian dr Aulia Risma yang diduga bunuh diri karena tak bisa menjadi korban bullying mengungkap fakta baru, yakni para lansia ditipu sebesar 20-40 juta rupiah.
DPR RI juga mengimbau Pemerintah segera mereformasi Sistem Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang diketahui sarat unsur kekerasan teman sebaya.
BACA JUGA: Wah, Suara Arzeti Bilbin Jatim Turun Ribuan dalam 1 Jam
“Penyalahgunaan di lingkungan pendidikan tidak bisa lagi dianggap sepele. Reformasi sistem pendidikan kedokteran khusus dan pengawasan yang sangat ketat mutlak diperlukan,” kata Anggota Komisi IX DPR Arzeti Bilbina, Senin (1/9/24).
Hasil pemeriksaan sementara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan, mendiang dr Aulija kerap diperas oleh orang yang lebih tua sebesar Rp 20-40 juta. Penerapan ini berlangsung sejak semester I pada bulan Juli hingga November 2022.
BACA JUGA: Lewat IAPF, Puan Ungkap DPR dan Parlemen Afrika Sinergi Lawan Mpox
Berdasarkan penelusuran Kementerian Kesehatan (Kemenkes), uang yang “dicicit” oleh para lansia tersebut kepada dr. Aulia dan juniornya dengan nominal hingga Rp 40 juta rupanya digunakan untuk menyewa jasa penulis lepas untuk menulis naskah akademik dan membayar OB.
Arzeti mengatakan, perkara ini sudah masuk ranah pidana.
BACA JUGA: Puan: Forum Parlemen Indonesia-Afrika Sepakat Kerja Sama dari Kesehatan hingga Keamanan Pangan
“Kasus ini patut menjadi perhatian khusus karena merupakan salah satu bentuk pemerasan, merupakan pidana dan sangat meresahkan. Seharusnya ada pertanggungjawaban pidana. Hal ini sangat memprihatinkan karena perundungan bukan lagi masalah fisik dan psikis, tapi juga masalah fisik dan psikis. pemerasan,” katanya.
Menurut Arzeti, kasus Dr. Aulija merupakan pukulan berat bagi sistem pendidikan khusus. Terlebih lagi, perundungan ini terjadi di lingkungan profesional yang sangat disegani oleh banyak orang, khususnya dokter.
Kasus ini harus menjadi insentif bagi semua pihak untuk melakukan perbaikan. Penyalahgunaan di lingkungan pendidikan, khususnya di lingkungan medis, sangat merugikan proses pembentukan karakter dan kualitas profesional calon dokter yang akan mengabdi kepada masyarakat, kata Arzeti.
Meminta uang melebihi biaya pendidikan yang ditetapkan dianggap sebagai pelanggaran etika yang serius. Hal ini, kata Arzeti, menunjukkan adanya praktik yang tidak sehat dan merugikan banyak mahasiswa kedokteran.
“Permintaan uang yang tidak masuk akal menunjukkan adanya ketidakadilan dalam akses terhadap pendidikan. Tidak semua siswa memiliki kesempatan finansial yang sama, sehingga praktik ini dapat menghalangi siswa yang kurang mampu untuk melanjutkan studi,” ujarnya.
Arzeti juga menyoroti Pemerintah, khususnya kementerian/lembaga yang memiliki sekolah atau layanan pendidikan khusus, untuk menciptakan sistem pendidikan yang aman, sehat, dan berkualitas.
Menurutnya, hal itu dilakukan untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas, yang dalam bidang kesehatan diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan terbaik kepada masyarakat.
“Lingkungan pendidikan harus menjadi tempat yang aman dan kondusif bagi perkembangan peserta didik dan warga, bukan menjadi sarang perundungan dan intimidasi yang merugikan kesehatan mental mereka,” kata Arzeti.
Selain itu, anggota DPR dari Daerah Pemilihan I Jawa Timur ini mendesak Pemerintah mengevaluasi sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia, karena terbukti banyak kasus penyalahgunaan jalur PPDS.
Arzeti berpendapat, pengawasan dan perlindungan terhadap siswa dan lingkungan harus menjadi prioritas.
“Evaluasinya harus mencakup peningkatan manajemen pendidikan kedokteran khusus, menciptakan mekanisme pelaporan yang aman dan efektif, serta menerapkan aturan anti-bullying yang ketat,” jelasnya.
“Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat harus bersinergi menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, sehat, dan berkualitas. Hanya dengan cara inilah kita dapat memastikan lulusan kita siap memberikan pelayanan kesehatan terbaik kepada masyarakat Indonesia,” lanjut Arzeti.
Dikatakan pula bahwa program pendidikan kedokteran spesialis juga harus mencakup kesehatan mental bagi semua pihak yang terlibat, termasuk lansia dan guru. Artinya, kata Arzeti, pendidikan tidak hanya fokus pada kemampuan akademik saja.
“Isu kesehatan mental kini tidak lagi sekadar menjadi bahan perbincangan. Karena bukti-buktinya valid dan nyata. Dengan memperhatikan unsur kejiwaan, kita berharap tidak ada lagi orang-orang tua yang menganiaya generasi mudanya.” yang menjadi korban juga mendapat bantuan,” jelasnya.
Arzeti juga mengemukakan bahwa masalah kekerasan teman sebaya dapat berdampak pada kehidupan korban dan keluarganya. Diketahui, Dr. Aulia meninggal tak lama setelah kematian putranya karena kesehatannya yang menurun.
“Saya menyampaikan keprihatinan saya yang terdalam kepada keluarga korban. Bagi saya, ini lebih dari sekedar masalah penganiayaan, karena ada keluarga yang harus menanggung rasa sakit dan kesedihan atas penganiayaan yang dilakukan orang lain,” kata Arzeti.
“Bayangkan seorang ayah merasakan sakitnya kehilangan anaknya, mengetahui anaknya dianiaya hingga kesehatannya menurun, sungguh memilukan. Cacatnya sistem di PPDS menyebabkan penderitaan di masyarakat,” tambah Ibu 3.
Hingga saat ini, kasus meninggalnya dr Aulia Rism masih diproses dan diselidiki Polda Jateng. Polda dan Kementerian Kesehatan masih berkoordinasi guna mengungkap penganiayaan yang dialami peserta PPDS anestesi.
Di sisi lain, Arzeti berpendapat bahwa reformasi pendidikan harus melibatkan berbagai pihak, baik mahasiswa, dosen, maupun pihak independen, guna menjamin lingkungan pendidikan yang aman dan mendukung mutu akademik yang tinggi.
“Perbaikan yang dilakukan harus transparan dan terbuka bagi masyarakat. Masyarakat berhak mengetahui apa yang dilakukan Pemerintah dan lembaga pendidikan untuk mencegah kejadian serupa di kemudian hari,” kata Arzeti.
Arzeti mengatakan pelecehan dapat berdampak jangka panjang pada korban, sehingga bantuan khusus harus diberikan kepada korban pelecehan untuk membantu mereka pulih lebih cepat.
Bahayanya, kekerasan bisa berdampak jangka panjang di mana seseorang akan mengalami trauma. Budaya ini harus dihilangkan, selain itu juga harus ada pertolongan khusus agar korban pelecehan bisa lebih cepat pulih, kata anggota tersebut. BKSAP DPR RI.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan mengakui masih banyak terjadi kasus penganiayaan dan penganiayaan di lingkungan PPDS).
Dari data Kemenkes hingga Agustus 2024 diketahui terdapat 234 laporan penyalahgunaan di PPDS dan terbanyak pada kajian penyakit dalam.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, terdapat 399 dokter yang mengalami depresi kategori berat dan berniat mengakhiri hidup berdasarkan survei di lingkungan PPDS. Kemenkes mengungkapkan dr Aulia merupakan salah satu peserta PPDS yang ikut dalam penelitian tersebut, dan akibatnya almarhum mengalami depresi akibat penganiayaan lansia.
“Data ini sudah jelas bukan? Oleh karena itu, tidak perlu lagi membela para pihak, dan juga menutup-nutupi budaya penyalahgunaan di lingkungan PPDS. “Sekarang saatnya untuk berbenah, karena rantai penyalahgunaan harus dipatahkan,” kata Arzeti.
Komisi IX DPR yang membidangi masalah kesehatan juga meminta Kementerian Kesehatan memberikan sanksi berat bagi lembaga pendidikan yang memfasilitasi program PPDS jika terbukti melakukan intimidasi.
Arzeti mengatakan permasalahan perilaku kekerasan harus segera dihentikan jika tidak dibiarkan begitu saja.
“Praktik pelecehan di PPDS semakin banyak terjadi karena lingkungan sendiri seolah-olah membiarkan hal itu terjadi,” ujarnya.
Kemenkes mengungkapkan, 10 program studi yang paling banyak kasus pelecehan di PPDS adalah Ilmu Penyakit Dalam sebanyak 44 kasus, Bedah 33 kasus, Anestesiologi 22 kasus, Bedah Estetika 15 kasus, Bedah Syaraf 13 kasus, Ortopedi. 11 kasus, obstetri 11 kasus, neurologi 10 kasus, dan anak 7 kasus.
“Ini baru yang dilaporkan, karena saya yakin masih banyak yang tidak melaporkan. Ini juga yang perlu didalami. Kita berharap masalah perundungan di lingkungan PPDS segera teratasi, yang mana sangat mengkhawatirkan. Kami terus berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, kata Arzeti (jpnn).