saranginews.com, Jakarta – Literasi keuangan yang tertanam dalam kurikulum mandiri sangat penting diterapkan siswa sejak dini.
Hal ini memungkinkan siswa memahami cara mengelola uangnya dengan benar, menghindari kesalahan, dan mengembangkan kebiasaan sehat dalam menggunakan uangnya di masa depan.
Baca Juga: Rangkaian Hari Oeang ke-78, DJPPR Dukung Literasi Keuangan
“Jika kita ingin anak-anak mandiri secara finansial, suka atau tidak, kita perlu memahami literasi keuangan sebagai bekal,” kata Kepala Badan Standar dan Penilaian Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Anidito Aditomo, secara online. Seminar “Bergerak Bersama untuk Literasi Keuangan dalam Kurikulum Gratis”, diawasi, Senin (21/10).
Literasi keuangan bukanlah suatu kebijakan baru, melainkan seperangkat sumber daya, alat atau metode yang memungkinkan guru di sekolah untuk menanamkan kesadaran atau pengetahuan keuangan kepada siswanya melalui Kurikulum Merdeka. Apalagi, realitas saat ini menunjukkan rendahnya literasi keuangan di kalangan generasi muda.
Baca Juga: Literasi Keuangan Dongkrak Pertumbuhan UMKM
“Hal ini akan membentuk sifat dan karakter tata kelola keuangan yang baik di masa depan,” ujarnya.
Lulusan Sarjana Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menambahkan, rendahnya literasi keuangan tidak hanya berdampak pada individu tetapi juga berdampak besar secara kolektif. Sebab, keputusan keuangan yang diambil sangat buruk dan dampak berantainya sangat besar.
Baca selengkapnya: Selama sepuluh tahun, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa pembangunan pendidikan semakin layak dan penting
“Misalnya seseorang yang kemampuan membaca dan menulisnya rendah, cenderung terjerumus dalam hutang yang dapat berdampak pada keluarganya, maka jika hutang tersebut tidak dibayar maka peredaran uang di masyarakat akan lambat. dampaknya,” katanya. .
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2023, 57,3% kredit macet pinjaman online perorangan secara nasional dikuasai oleh masyarakat berusia 19-34 tahun.
Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), terdapat kurang lebih 4 juta pemain dan 168 juta transaksi perjudian online (judol) di Indonesia per Juli 2024.
“Ini adalah siklus jebakan berantai akibat rendahnya literasi keuangan dan sekaligus harus dihilangkan,” tegasnya.
Anindito juga menyampaikan bahwa pendidikan keuangan di sekolah bersifat dinamis dan tidak hanya menjadi tanggung jawab guru dan lembaga pendidikan. Berkaitan dengan hal tersebut, seluruh pengambil kebijakan dituntut untuk memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan keterampilan peserta didik.
“Banyak masyarakat yang memiliki akses terhadap jasa keuangan, namun pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka dalam mengelola keuangan sangat rendah. Hal ini perlu kita lakukan bersama-sama dengan cara yang strategis,” ujarnya. (esy/jpnn)