Kebijakan Kemenkes Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Dipertanyakan, RPMK Dikritik

saranginews.com, JAKARTA – Ketua Harian Tulus Abadi Yayasan Konsumen Indonesia (YLKI) mempertanyakan kejelasan aturan kemasan rokok tidak bermerek yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dan peraturan turunannya. yang sedang dikembangkan yaitu Rancangan Peraturan Kementerian Kesehatan (RPMK).

Menurut Tulus, perlu adanya kejelasan mengenai aturan kemasan tidak bermerek.

BACA JUGA: Pelaku industri rokok elektrik protes rencana peraturan kemasan polos

Padahal, perlu ditegaskan bahwa yang disebut rokok sederhana bukanlah rokok sederhana seperti yang ada di luar negeri yang sudah diterapkan beberapa negara, yakni di Australia dan Selandia Baru, kata Tulus.

Ia menambahkan, dalam konteks aturan PP 28/2024, yang dimaksud bukanlah rokok tanpa merek, melainkan bungkus yang terstandar. 

BACA JUGA: Bea Cukai Semarang razia peredaran rokok ilegal ratusan juta di Kendal

Menurut Tulus, kemasan bening di negara lain berwarna putih. Hal ini berbeda dengan kenyataan di lapangan.

“Dengan adanya standarisasi maka akan selalu ada peningkatan peringatan kesehatan yaitu 50 persen dan warnanya akan terstandar. Artinya akan selalu ada kemasan yang terstandar dan berbeda dengan rokok biasa. Untuk rokok polos di Australia dan New Selandia dan mungkin beberapa negara lainnya, memang benar warnanya putih, tidak ada gambar dan tidak ada peringatan kesehatan, tambahnya. 

BACA JUGA: Skenario DPR Kemenkes soal Penyusunan PP Nomor 28 dan RPMK, Diminta Jangan Egois

Sebelumnya diberitakan, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dan kini sedang menyusun peraturan turunannya yakni Rancangan Peraturan Kementerian Kesehatan (RPMK).

Peraturan ini menuai banyak kontroversi karena memicu gelombang PHK dan tergerusnya pendapatan negara.

Hal ini disebabkan minimnya keterlibatan aktor-aktor yang terkait langsung dengan peraturan tersebut, seperti industri tembakau dan ekosistem di dalamnya. 

Tak hanya itu, pernyataan Kementerian Kesehatan dan LSM kesehatan juga mendapat sorotan karena kerap dianggap tidak konsisten.

Kedua peraturan yang digagas Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin itu mengatur rokok kemasan polos, tanpa merek, larangan penjualan rokok zonasi, dan larangan iklan di lingkungan luar ruangan.

Dalam RPMK yang diunggah di situs resmi Kementerian Kesehatan, bagian Pencantuman Informasi Kemasan, pasal 15 par. (3) berbunyi: “Merek produk dicantumkan di bawah Peringatan Kesehatan pada bagian depan atau belakang kemasan dengan huruf kapital Arial.”

Sedangkan pasal 5 par. (1) menyala. g mengatur bahwa “penambahan gambar dan/atau tulisan dalam bentuk apapun selain yang ditentukan dalam peraturan menteri ini dilarang pada kemasan hasil tembakau”.

Namun dalam beberapa keterangan, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, penggunaan logo pada kemasan rokok tetap diperbolehkan, termasuk kewajiban mencantumkan peringatan. dan kesehatan. informasi

Pada kesempatan lain, Nadia menyatakan merek tersebut tidak diperbolehkan.

Nama dan logo produk juga boleh. Namun, peringatan, informasi, gambar dampak merokok ada. Branding tidak boleh. Kami melakukan standarisasi warna, termasuk pada rokok elektrik, kata Nadia dalam siaran persnya baru-baru ini.

Pernyataan Kementerian Kesehatan ini bertentangan dengan aturan dalam rancangan kebijakan. Hal ini juga menunjukkan adanya kesalahpahaman mengenai proyek regulasi yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan sendiri.

Perbedaan deklarasi Siti dengan proyek RPMK juga terlihat pada setting mereknya.

Pasal 5(1)(e) menjelaskan bahwa “penulisan merek dan varian produk tembakau menggunakan bahasa Indonesia”, sedangkan Pasal 5(1)(f) menyatakan “penulisan identitas produsen menggunakan bahasa Indonesia dengan font Arial”.

Dalam diskusi tersebut, Siti menyampaikan bahwa tidak ada standarisasi nama atau penulisan merek rokok.

“Kami tidak membakukan nama merek rokok. Bahasa Indonesia hanya untuk peringatan, lalu untuk informasi. Nama merek sesuai merek,” jelasnya.

Penolakan terhadap rancangan peraturan ini diutarakan keras oleh banyak pihak, mulai dari petani hingga akademisi.

Ketua Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji mengatakan, banyak kejanggalan atau disharmoni dalam RPMK.

Ketentuan RPMK antara lain mengacu pada kemasan seragam/kemasan polos. Padahal, kata dia, ketentuan kemasan seragam/kemasan sederhana praktis tidak diberlakukan dalam PP 28/2024.

“Banyak negara yang menerapkan kemasan seragam/kemasan sederhana terbukti tidak menurunkan jumlah perokok aktif secara drastis. Yang terjadi justru peredaran rokok ilegal semakin meningkat. Dampak lainnya adalah pendapatan cukai negara turun, dan ini menimbulkan kemiskinan baru,” kata Agus Parmuji.

Ketua Umum Pengurus Pusat Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI), Sudarto AS, menyatakan ketidakpuasannya terhadap RPMK yang merupakan aturan turunan dari PP 28/2024.

Menurut dia, aturan tersebut tidak mengakomodir kontribusi para pekerja. Sudarto menilai kontroversi PP 28/2024 dan RPMK menunjukkan kelalaian pemerintah dalam memperkirakan dampak ekonomi dari peraturan tersebut terhadap pekerja dan industri.

Ia khawatir akan banyak pekerja yang menjadi korban PHK jika kebijakan ini diterapkan. Agus menekankan pentingnya mempertimbangkan dampak kebijakan terhadap ketenagakerjaan dan sektor terkait.

Kekhawatiran Sudarto juga tercermin dalam pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memperingatkan ancaman badai PHK pada tahun 2025. Pernyataan tersebut disampaikannya saat menghadiri Kongres Ikatan Studi Ekonomi Indonesia (ISEI) di Solo, Agustus lalu.

Jokowi mengatakan dampak ancaman tersebut dapat menyebabkan hilangnya 85 juta lapangan kerja, di saat Indonesia menyambut bonus demografi tahun 2030 yang membutuhkan banyak lapangan kerja.

Sementara itu, Imanina Eka Dalilah, Peneliti Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi (PPKE), Universitas Brawijaya, mengatakan industri tembakau melibatkan berbagai pihak yang bergantung pada produksi tembakau.

Ia mengatakan, aturan kemasan rokok murni bisa menurunkan daya saing produknya. Sebab, bisa menghilangkan identitas visual dan merek industri rokok legal.

“Kehadiran RPMK juga akan berdampak pada industri terkait lainnya seperti pengemasan, percetakan, dan logistik juga akan terkena dampaknya. Mereka akan kehilangan permintaan dari industri rokok sehingga berdampak pada penurunan pendapatan dan kemungkinan terjadinya PHK,” ujarnya. ditambahkan.

Akademisi Universitas Gadjah Mada, AB Widyanta mengungkapkan, RUU tersebut merupakan kebijakan yang tidak bisa disahkan. Sebab, yang diatur Kementerian Kesehatan tidak banyak melihat sektor industri lainnya.

“Kalau Kementerian Kesehatan bilang proyek itu kebijakan publik, kenapa kementerian lain tidak dilibatkan?” Lalu peran Kementerian Perindustrian, Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan kementerian terkait lainnya, kata AB Widyanta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *