P Hak pada lokakarya “Keselamatan, Hak dan Keamanan Disabilitas” pada Rabu (16/10).
Sekitar 50 mahasiswa undangan dibagi menjadi lima kelompok, termasuk tiga mahasiswa program Administrasi Publik UTA’45 sebagai pembimbing.
Baca juga: KND Imbau Mahasiswa Menjadi Powerhouse untuk Akhiri Stigma Negatif terhadap Penyandang Disabilitas.
Masing-masing kelompok berupaya menganalisis insiden terkait pelaksanaan hak-hak penyandang disabilitas dan kerentanan keamanan.
Mereka kemudian menawarkan solusi yang mungkin.
Baca Juga: KPU siapkan TPS ramah penyandang disabilitas
Sebelum kompetisi penelitian, 150 mahasiswa terlebih dahulu mempelajari pentingnya pemenuhan disabilitas dari tiga sumber.
Narasumbernya adalah Sekretaris Tata Usaha Asminra Jakarta Utara Muhammed Andri, Guru Administrasi Publik Sisman Prasetyo dan Komisioner Komisi Disabilitas Nasional (KND) Kikin Tarigan.
Baca juga: Penyandang Disabilitas Netra Indonesia Capai 4 Juta, Hanya 1 Persen Yang Bekerja di Sektor Formal
Selain itu, peneliti BRIN Tyas Ululianti juga hadir sebagai narasumber video.
Di hadapan ratusan pelajar dan mahasiswa, Kickin menyampaikan pentingnya terlibat dalam berbagai bidang, khususnya di bidang pendidikan.
Generasi muda, dalam hal ini pelajar dan mahasiswa, berharap dapat dilakukan perubahan yang menghilangkan stigma negatif yang melekat pada penyandang disabilitas.
“Generasi muda ini berpendidikan, informasional, teknologi. “Saya pikir ini adalah hak disabilitas,” kata Kickin.
Menurutnya, permasalahan disabilitas tidak bisa diselesaikan hanya oleh dunia disabilitas saja.
Generasi muda dapat mendorong pemerintah daerah, kementerian/lembaga untuk lebih peduli terhadap penyandang disabilitas.
Angela Rocha, seorang guru administrasi publik, mengatakan tujuan dari acara ini adalah untuk meningkatkan kesadaran di kalangan mahasiswa dan dosen tentang perlakuan terhadap disabilitas.
“Kami sebagai dosen dan mahasiswa ingin bangkitnya konsep ini (mahasiswa dan cendekiawan) yang menjadi generasi penerus bangsa.”
“Mereka mulai memikirkan ide-ide solusi, kebijakan inklusif, isu-isu disabilitas. Jadi mereka bisa memikirkan solusi dan permasalahan dalam istilah kebijakan.”
Peraturan tersebut tidak menghilangkan kekejaman tersebut
Tyas ululianti mengatakan, stigma negatif terhadap penyandang disabilitas disebabkan oleh sikap yang salah.
Misalnya saja sikap yang memandang penyandang disabilitas sebagai sosok yang lemah, tidak berdaya, dan tidak mampu berbuat apa-apa.
Menurutnya, hal tersebut berdampak pada tindakan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas.
Tyas mengatakan, stigma negatif justru menghalangi penyandang disabilitas untuk berperan aktif dalam setiap proses pembangunan.
“Banyak dari kita sudah mengetahui bahwa ada persyaratan kesehatan fisik dan mental yang menghalangi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan. “Ini merupakan contoh penyandang disabilitas yang tidak mudah mendapatkan pekerjaan karena kondisi tersebut,” kata Tyas dalam keterangannya, Rabu (16/10).
“Pekerjaan tertentu saja yang bisa diberikan kepada penyandang disabilitas, dan kuotanya terbatas. Nah, ini bentuk penegasan, tapi kalau dilihat sebagai hak sipil, pekerjaan apa pun bisa dilakukan oleh penyandang disabilitas. Harus dibuka seluas-luasnya,” ujarnya.
Selain itu, Tayas menuturkan, permasalahan terkait penyandang disabilitas di Indonesia sudah membaik, terutama dari sisi regulasi.
“Kita punya undang-undangnya, lalu ada PP (Peraturan Pemerintah) (UU) yang dibuat. Sebuah PO kemudian diusulkan mengenai konsesi untuk disetujui. Jadi sudah lengkap,” ujarnya.
Namun, diakuinya, langkah yang ada belum bisa menghilangkan sepenuhnya stigma negatif terhadap penyandang disabilitas.
“Kita melihat regulasi yang ada tidak menjamin perlindungan dan pelaksanaan hak-hak penyandang disabilitas. Secara khusus, kita dapat melihat banyak kebijakan disabilitas yang ada saat ini, namun justru melemahkan banyak penyandang disabilitas. Menurut kami, diskriminasi masih ada dan menjadi penghambat integrasi di Indonesia.” (jpnn)