saranginews.com, SINGAPURA – Nicke Widyawati, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), memaparkan roadmap bisnis Pertamina di bidang biofuel dan dekarbonisasi pada Dialog Asia Tenggara dan Amerika Latin (SALA Dialogues) yang digelar di INSEAD. Institut Hoffmann; Singapura Rabu (16/10).
Pada sesi Fueling the Future: Biofuels and Decarbonization Journey, Indonesia akan menghadapi 4 tantangan ke depan. Artinya, pertama, menjadi net importir; sasaran emisi nol bersih pada tahun 2060; Tujuan menjadi negara yang tinggi; Negara pendapatan dan kesempatan kerja akan terbuka.
Baca juga: Pertamina Ajak Mahasiswa Bangun Masa Depan Energi Berkelanjutan dengan Menjadi Tuan Rumah PTGC di Singapura
Nicky menjelaskan program biomassa dan dekarbonisasi dapat menjadi jawaban atas tantangan tersebut.
Ia mengatakan, Indonesia telah melaksanakan program biodiesel melalui Pertamina sejak tahun 2010 dan kini telah berhasil memproduksi biodiesel B35 yang terbukti berhasil dalam impor dan penggunaan biodiesel B35.
Baca juga: 16.600 JFR 2024 Runner Pertamina mendapat jaminan dari Asuransi PertaLife
“Mulai April 2019, Pertamina akan menghentikan impor solar dan avtur. Selain itu, B35 akan menurunkan emisi CO2 sebesar 32,7 juta ton pada tahun 2023,” jelas Nicke.
Keunggulan lain dari biodiesel adalah kemudahan proses blending atau proses pencampuran bahan bakar fosil dengan biodiesel.
Baca juga: Modern. Injeksi CCUS CO2 Pertamina di Sukawati dilengkapi dengan sistem digital 24 jam.
Jika biofuel akan diproduksi di kilang skala besar, pencampuran biodiesel dapat dilakukan di terminal akhir.
“Kelebihan biodiesel adalah kemudahan proses pencampurannya, bisa dilakukan di terminal bahan bakar atau terminal akhir,” kata Nicky.
Pertamina memiliki lebih dari 1.000 SPBU di Indonesia, Nicke melaporkan.
“Hal ini akan meningkatkan perekonomian daerah dan mendorong pengembangan pabrik bioetanol sehingga akan menciptakan lapangan kerja”, tambahnya.
Nicky melanjutkan, keberhasilan penerapan biodiesel pada produk bahan bakar juga akan berdampak pada produk bensin, sehingga diharapkan dapat mengurangi impor dan sekaligus mencapai ketahanan energi nasional.
Saat ini, Pertamina memulai dengan produk biofuel E5.
“Kami memulai biomassa dengan E5 di beberapa tempat di Pulau Jawa dan secara bertahap ditingkatkan di Jawa Timur,” jelas Nicke.
Nicke mengatakan, Pertamina sendiri tidak bisa bertanggung jawab atas transisi energi dan inovasi berkelanjutan produk energi ramah lingkungan.
Diperlukan kerja sama dan transfer pengetahuan dengan mitra dagang strategis dan negara lain.
Dalam diskusi ini, Nicke membuka peluang untuk bekerja sama dengan negara-negara Amerika Latin untuk bersama-sama memproduksi biodiesel dan biofuel.
Untuk program bioetanol; Nicky melihat potensi kerja sama antara Indonesia dan Brasil.
Pengembangan tanaman bioetanol dari proses penanaman; Teknologi Nikkei menyatakan ingin mempelajari sepenuhnya bagaimana Brasil berhasil menerapkan zetanol, mulai dari perspektif peraturan, serta cara menarik investor.
Harapannya, program bioetanol dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan karbon bersih, pungkas Nicke.
Dialog SALA diikuti oleh 150 pengusaha dan profesional dari berbagai sektor dari berbagai negara di Asia Tenggara dan Amerika Latin.
Tujuan dari gerakan ini adalah membangun kerja sama global untuk mencari solusi nihil karbon dan ketahanan pangan global, sehingga menumbuhkan peluang bisnis dan investasi baru antar negara.
Sebagai perusahaan terdepan di bidang transisi energi, Pertamina berkomitmen mendukung tujuan net zero emisi pada tahun 2060 dengan terus mendukung program-program yang berdampak langsung pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Seluruh upaya tersebut fokus pada lingkungan hidup di seluruh lini bisnis dan operasional Pertamina. Sesuai dengan implementasi kebijakan sosial dan tata kelola (ESG). (mrk/jpnn)