saranginews.com, Jakarta – Profesor Kandra Fajri Ananda, Ekonom Universitas Brawijaya, menilai pemerintah harus mempertimbangkan berbagai aspek dalam menerapkan kebijakan kesehatan masyarakat.
Pasalnya, kebijakan ini tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan tetapi juga perekonomian negara.
Baca juga: Awas, PP Sanitasi Bisa Ancam Perekonomian
Seperti diketahui, pada tahun 2024 Peraturan Pemerintah No. 28 untuk tahun 2023 UU Kesehatan no. Ratifikasi Implementasi 17 memicu protes dari berbagai industri yang terkena dampak ekonomi, termasuk Industri Hasil Tembakau (IHT). Memperhatikan berbagai aspek, yang dimaksud bukan hanya aspek kesehatan, antara lain pekerjaan, tembakau (pendapatan petani), pendapatan pemerintah, dan industri. “Kami berharap ke depan ada rencana IHT yang lebih jelas dan dapat diterima oleh seluruh pemangku kepentingan,” kata Profesor Kandra seperti dikutip, Jumat. Seperti diketahui, pada tahun 2023 Pada bulan Desember, INDEF akan menerbitkan rekomendasi kebijakan mengenai dampak RPP terhadap industri tembakau.
INDEF menjelaskan tiga skenario yaitu pembatasan jumlah paket, memajang produk di etalase toko, dan membatasi iklan tembakau, dan jika ketiga skenario ini diterapkan secara bersamaan maka akan mengurangi penerimaan pajak senilai Rp52,8 triliun.
Baca juga: PP Kesehatan dinilai kontroversial dan perlu direvisi
“Hal ini disebabkan oleh berkurangnya pendapatan bea cukai dan pajak lainnya karena masuknya produk-produk yang merugikan sektor IHT dan sektor terkait lainnya,” kata peneliti INDEF Tawhid Ahmed dalam laporannya. dan pembatasan iklan tembakau, yang berarti mungkin ada kekhawatiran mengenai berkurangnya pendapatan masyarakat, menurut penelitian INDEF
BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2024 akan menurun pada triwulan I ke triwulan II, dari 5,11 persen menjadi 5,05 persen.
Baca juga: Menteri Linda Sebut PP Tetap Lakukan Aborsi Ketat Demi Kesehatan Reproduksi
Pulau Jawa merupakan pulau yang memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Hal ini juga berarti bahwa sebagian besar kegiatan ekonomi terjadi di sana, termasuk Jawa Timur, provinsi dengan kontribusi produksi tembakau terbesar. Di sisi lain, PP Kesehatan dapat memberikan dampak signifikan terhadap sektor padat karya seperti industri tembakau (IHT).
Pembatasan berdasarkan dokumen ini, seperti pengurangan jumlah kemasan, pembatasan iklan, dan pembatasan tampilan produk tembakau, diperkirakan akan menurunkan produksi dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi petani tembakau dan pelaku industri lainnya, yang akan merugikan dan mengurangi dampak negatifnya. Hal ini dapat berdampak pada berkurangnya angkatan kerja mengingat sektor tembakau merupakan sektor padat karya.
Ketika suatu industri menghadapi kemerosotan, pengurangan tenaga kerja atau PHK (PHK) merupakan akibat yang hampir tidak bisa dihindari.
Kementerian Ketenagakerjaan mengindikasikan hal itu pada tahun 2024 Januari-Juni jumlah pegawai yang diberhentikan mencapai 32.064 orang atau 21,4 persen. lebih dari periode yang sama tahun lalu Indah Angoro Putri Jamsostek Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan mengatakan pada Mei tahun lalu: “2024 lebih dari 30.000 orang”.
Selain itu, meningkatnya jumlah pekerja informal di Indonesia, yang saat ini mencapai 59,17% dari seluruh pekerja, menunjukkan bahwa banyak pekerja yang beralih dari pekerjaan formal ke informal, yang seringkali disebabkan oleh hilangnya pekerjaan di sektor formal. (10 mcr/keju)