saranginews.com, Jambi – Festival Bekarang Lopak Sepang yang digelar di Desa Tebat Patah Kabupaten Muaro Jambi pada Sabtu (24/8) menyoroti pentingnya rasa saling mendukung yang kuat di antara masyarakat.
Festival yang mengingatkan kita pada prosesi adat “Bekarang” ini merupakan acara tahunan di desa Tebat Pattah yang mencerminkan keharmonisan antara alam dan manusia.
Baca juga: Kemendikbudristek dan Abbott Perangi Malnutrisi Anak di Indonesia
Menurut tradisi ini, masyarakat setempat mengumpulkan ikan bersama-sama di Lubuski Bana, sebuah perairan yang secara tradisional dilindungi dan hanya dipancing setahun sekali, terutama pada musim kemarau.
Perwakilan Direktur Film, Musik dan Media Kemendikbud Nuzul Cristanto mengatakan, terselenggaranya festival ini menghidupkan kembali kenangan akan peradaban negeri yang lahir dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Batangari.
Baca Juga: PPPK Sebabkan Krisis Guru di Sekolah Swasta, BMPS: Kita Menabur, Yang Lain Menuai
“Warisan budaya kita yang kaya ini patut dilestarikan sebagai identitas dan simbol kearifan lokal,” kata Nuzul dalam siaran persnya, Minggu (25/8).
Sementara itu, di tempat yang sama, Direktur Festival Bekarang Lopak Sepang Anjas Budi mengatakan, tradisi tersebut diambil karena sudah menjadi warisan budaya kebanggaan masyarakat setempat.
Baca juga: Festival Bekarang Lopak Sepang, Cara Ampuh Selamatkan Sungai Batangarhi
Menurutnya, tradisi Bekarang sudah lama dinantikan masyarakat karena Lubuk Ban merupakan kawasan adat yang hanya bisa memanfaatkan sumber dayanya setahun sekali.
Meski hingga saat ini Bekarang rutin diadakan setiap tahun, namun prosesi adat terakhir dilakukan pada tahun lalu, kata Anjas.
Ia mengatakan, prosesi pertama dilakukan sehari sebelum Bekarang, yaitu pertemuan adat yang dipimpin oleh tokoh adat.
Mereka berdiskusi apakah tradisi percuma itu bisa dilanjutkan atau tidak.
Mereka kemudian melanjutkan untuk memilih tiga orang sebagai delegasi untuk menyelidiki status kawasan terlarang.
Pemimpin adat memilih Ngundur, ada yang diutus untuk memeriksa kondisi lubang terlarang, lanjutnya.
Jika status lubang terlarang, lanjut Anjas, sudah siap panen, maka waktu menganggurnya akan ditetapkan dan diumumkan ke publik.
Kemudian, pada malam sebelum Bekarang dimulai, dilakukan upacara khusus dan kawasan terlarang dijaga hingga subuh.
“Arak-arakannya sama seperti sebelumnya, hanya saja doanya berbeda. “Sekarang kami berdoa sesuai ajaran Islam,” ujarnya.
Menurutnya, festival yang diadakan pada malam sebelum Bekarang ini membuat masyarakat mengingat tradisi Bekarang.
Tidak hanya menampilkan prosesi adat, namun juga berbagai kesenian dan pertunjukan yang menampilkan kearifan lokal.
Diawali dengan tarian tradisional, lewat musik khas daerah, dan diakhiri dengan pertunjukan puisi, kisah kekayaan budaya desa Tebat Pattah.
“Kami berharap generasi muda dapat lebih memahami dan mencintai warisan budayanya, dengan tetap menjaga keseimbangan ekologi di sekitar Lubuk Baan,” kata Anjas Budi. (ddy/jpnn)
Baca artikel lainnya… 125 produk UMKM siap memeriahkan festival lokal Anda Beli Tokopedia