saranginews.com, Jakarta – Lestari Mordijat mengatakan proses legislasi rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) harus dilanjutkan.
Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memanusiakan pekerja rumah tangga.
Baca Juga: Lestari Mordizat soroti kebijakan untuk memudahkan pembiayaan UMKM melalui transparansi
“Sosialisasi mengenai esensi RUU PPTT dan pasal-pasal kritis yang terkandung di dalamnya nampaknya masih kurang tepat sasaran, sehingga banyak poin-poin penting dalam RUU tersebut yang tidak dipahami oleh masyarakat bahkan pimpinan DPR,” ujarnya. Review Lestari Mordijat Soal UU PPRT Picu Debat Online: Tinjauan Hukum Proses Legislasi UU PPRT Macet di DPR, Apa Solusinya? Hal itu terjadi pada Rabu (21/8) di forum diskusi 12 Denpasar.
Diskusi dimoderatori oleh Arimbi Heropoetry (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) dan disampaikan oleh Maulija K. Donna Svenstani (Peneliti Politik Pusris – Brin), Narsahbani Katjasungkana (Ketua Perkumpulan LBH APIK) Penelitian dan Kelembagaan Pembangunan – Yayasan Bantuan Hukum Indonesia /YLBHI) dan dr. Atong Irawan (Pakar Hukum Tata Negara – Ketua DPP Partai Nasdem Bidang Legislatif) sebagai narasumber.
Baca juga: Lestari Mordizat Minta Masyarakat Perkuat Persatuan Menghadapi Tantangan Hidup
Selain itu, hadir juga Mutiyara Ika Prativi (Mahardhika) sebagai responden.
Menurut Lestari, hingga saat ini pemangku kepentingan belum menyetujui beberapa pasal dalam RUU PPTT.
Baca Juga: Cegah Pemalsuan, Lestari Mordizat Sosialisasikan Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Motif Batik Kudus
Sapaan Lestari, Reri, membuat semua pihak melakukan berbagai langkah untuk menuntaskan perdebatan RUU PPTT menjadi undang-undang.
Dengan tinggal 1,5 bulan lagi masa jabatan DPR 2019-2024, Reri berharap proses legislasi RUU PPTT bisa terus berjalan.
Oleh karena itu, jika RUU PPTT dibawa ke sidang berikutnya, tidak perlu dibahas dari awal, imbuh Rery.
Maulija K Donna Svenstani, peneliti di Brin Center for Policy Research, menilai pembahasan RUU PPTT memakan waktu lama karena jika melihat tren proses legislasi seringkali meleset.
Donna mengungkapkan, banyak undang-undang yang tidak dibahas sebagian besar berkaitan dengan kepentingan perempuan.
Saat ditemui, ia menjelaskan, TPKS dipengaruhi oleh tekanan masyarakat sipil dan gerakan perempuan yang akhirnya mengubah RUU tersebut menjadi undang-undang.
Sejauh ini RUU Ketahanan Keluarga dan RUU Kesetaraan Gender belum dibahas, kata Donna.
“Mungkin pimpinan dewan menganggap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan perempuan tidak penting,” katanya.
Berdasarkan pantauan Donna, ada beberapa faktor yang menghambat pembahasan RUU PPTT saat ini, antara lain karena sengaja dihalangi, tidak ada kemauan politik dari pimpinan DPR, terkesan tidak perlu, dan tidak ada. Hal ini menciptakan manfaat pemilu.
Menurut Donna, tekanan masyarakat perlu ditingkatkan agar RUU PPTT segera disahkan.
Pakar hukum tata negara Atong Irawan berpendapat, penggolongan berbagai RUU yang masuk dalam program legislasi nasional memerlukan dasar pertimbangan yang jelas dalam skema politik peraturan perundang-undangan.
Jika dasar pertimbangannya jelas, kata Atong, akan lebih mudah menentukan derajat prioritas antara satu RUU dengan RUU lainnya dalam proses legislasi.
Diakui Atong, proses legislasi RUU PPTT terlalu lambat. Atang menilai konsep kolektif kolektif sebenarnya berlaku bagi pimpinan DPR, karena presiden dan wakil presiden mempunyai kekuasaan yang setara.
Jadi, jika Ketua DPR berhalangan, jika jumlah pimpinan lainnya kuorum, bisa segera melanjutkan proses legislasi dengan berkonsultasi di tingkat bamus, ujarnya.
Ketua LBH APIK Narsahbani Katjasungkana mengungkapkan, gagasan awal kepemimpinan perempuan sebenarnya terpacu oleh proses legislasi UU Pemilu dan UU Parpol sehingga meningkatkan partisipasi perempuan dalam kancah politik.
Menurut Nursyahbani, kerja memperjuangkan kepentingan politik perempuan tidak akan efektif jika tidak melihat permasalahan perempuan lain yang lemah dan terpinggirkan.
Narshyabani menilai ada krisis moral kepedulian di DPR atau krisis kepemimpinan jika terjadi penundaan proses legislasi RUU PPTT.
Ia menyarankan pimpinan DPR terus melakukan lobi hingga proses pembahasan RUU PPTT selesai.
Selain itu, Nursyahbani mendorong masyarakat untuk mengajukan gugatan perdata karena dianggap menghambat proses pembahasan RUU PPTT.
Ketua Litbang YLBHI Prativi Febri menilai RUU PPRT merupakan salah satu pilihan regulasi hukum yang bisa diikuti untuk melindungi pekerja rumah tangga.
Menurut Pratvi, menghalangi proses pembahasan RUU PPTT merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebab berdasarkan catatan tahun ini hingga Juni 2024, terdapat 3.627 kasus pelanggaran hak PRT.
“Baru enam bulan terakhir ini kita bisa memahami pentingnya UU PPTT bagi perlindungan PRT,” kata Pratvi.
Ia yakin kendala pembahasan RUU PPTT bukan hanya persoalan legislasi saja, melainkan alasan yang lebih luas.
Aktivis perempuan Mahardika Mutyara Ika Prativi mengatakan, sangat keterlaluan jika wakil rakyat tidak memahami pentingnya RUU PPRT karena pemerintah sudah mengirimkan Daftar Masalah (DIM) ke DPR pada tahun lalu.
Oleh karena itu, tidak ada alasan sah untuk tidak membahas RUU PPTT, kata Muthyara.
Muthyara menilai proses pembahasan RUU PPTT terhambat oleh krisis ideologi yang mengutamakan kesejahteraan masyarakat miskin.
Jurnalis senior Sour Hutabarat menilai tekanan harus terus dilakukan untuk mendorong berlanjutnya proses perdebatan RUU PPTT.
Sauer menilai tertundanya proses legislasi RUU PPRT di DPR karena elite di parlemen tidak ingin kehilangan status Ndoro.
Sour menjelaskan, proses legislasi yang mendukung RUU PPTT selama 20 tahun merupakan semangat feodal yang masih kuat di kalangan elit DPR. (jpnn)
Baca artikel lainnya… Lestari Moerdijat: Dengan upaya konservasi, diharapkan jumlah destinasi wisata akan bertambah