saranginews.com, JAKARTA – Divisi Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri tengah mengusut kasus pidana korupsi terkait proyek pembangunan dan modernisasi Integrated Planning, Procurement, Construction and Commissioning (EPCC) PG Djatiroto PTPN XI tahun 2016.
Wadirtipikor Bareskrim Polri Kombes Arief Adiharsa mengatakan, proyek pembangunan dan modernisasi PG Djatiroto PTPN
BACA JUGA: Komisi Pemberantasan Korupsi menyita rumah senilai puluhan miliar terkait kasus korupsi Kementerian Perhubungan
Proyek ini merupakan kelanjutan dari program strategis BUMN pendanaan PMN yang dialokasikan dalam APBN-P tahun 2015, kata Arief dalam siaran persnya, Senin (12/8).
Arief menjelaskan, nilai kontrak proyek pengadaan tersebut sebesar Rp 871 miliar. Berdasarkan hasil pemeriksaan, diketahui telah terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada tahap perencanaan, tender, pelaksanaan dan tata cara pembayaran. , mengakibatkan proyek tersebut tidak selesai dan diduga menimbulkan kerugian negara.
BACA JUGA: Soal Kasus Korupsi DJKA, Juru Bicara KPK Sebut Selalu Ada Peluang Kaji Ulang MLN
Dalam pemeriksaan tersebut, Arief mengungkap beberapa fakta yakni anggaran yang tersedia untuk membiayai proyek EPCC PG Djatiroto Lumajang tidak mencukupi dan belum tersedia sepenuhnya hingga penandatanganan kontrak sesuai nilai kontrak.
Beliau saat itu menjabat General Manager PTPN XI berinisial DP dan Direktur Perencanaan dan Pengembangan Usaha PTPN PTPN XI 2016.
BACA JUGA: DPP PKB dirujuk ke Bareskrim, Lukman Edy: Jangan Alergi Kritik
Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis PTPN
“Panitia lelang tetap melanjutkan lelang meski hanya 1 PT WIKA yang memenuhi syarat prakualifikasi. Sedangkan KSO Hutama-Eurrosiatic-Uttam dan 9 perusahaan lainnya tidak lolos. KSO Hutama-Eurrosiatic-Uttam gagal karena belum ada dukungan bank. melakukan pembiayaan proyek dan lokakarya di luar negeri,” katanya.
Arief menambahkan, isi perjanjian kontrak diubah dan tidak sesuai dengan ketentuan rencana kerja/RKS dengan menambahkan uang muka sebesar 20 persen dan pembayaran kredit atau LC pada invoice luar negeri. Tahapan pembayaran komisi yang menguntungkan penyedia jasa tanpa mengikuti proses GCG.
Perjanjian penyelesaian tidak ditandatangani pada waktu yang ditentukan dalam kontrak karena perjanjian penyelesaian masih dalam peninjauan oleh kedua belah pihak mulai tanggal 23 Desember 2016 sampai dengan Maret 2017.
“Proyek ini dilaksanakan tanpa studi kelayakan. Uang muka dan jaminan pelaksanaan sudah habis masa berlakunya dan tidak pernah diperpanjang. Cara pembayaran barang impor atau letter of credit tidak wajar,” ujarnya.
Penyimpangan pada tahap sebelumnya akhirnya membuat proyek terhenti dan hampir 90 persen uang PTPN XI masuk ke kontraktor.
Penyidik juga sudah melayangkan surat ke BPK meminta kerugian negara dihitung dan sejauh ini belum ada penetapan tersangka, ujarnya. (cuy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAGI… Wapres minta Bareskrim lanjutkan pengawasan perjudian internet yang semula