saranginews.com, Jakarta – Kementerian Kesehatan (Keminiks) mengingatkan masyarakat untuk tidak menganggap enteng risiko polusi udara.
Pasalnya, dapat menyebabkan gangguan kesehatan bahkan mungkin menyebabkan kematian.
Baca Juga: Diagnosis dini penting untuk mengatasi asma pada anak.
“Salah satu penyakit pernafasan yang sering diakibatkan oleh polusi adalah asma,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kota Kementerian Kesehatan (Bahan Kimia) Nadia Tirmizi, Minggu (11/11).
Prevalensi asma menjadi perhatian utama di Indonesia, dengan sekitar 7% atau sekitar 18 juta orang terkena asma pada tahun 2022, dan diperburuk dengan tingkat polusi yang berbahaya, yang merupakan masalah kesehatan masyarakat yang mendesak dan mendesak.
Baca juga: 6,7 Juta Warga Indonesia Menderita Hepatitis, Himbauan Kemenkes kepada Masyarakat
Menteri Koordinator Luhut Bansar Panjitan baru-baru ini menyoroti kenaikan biaya subsidi kesehatan akibat masalah polusi udara sebagai kekhawatiran utama, yang diperkirakan mencapai 38 triliun rupiah.
Menurut Kolaborator Penyakit dan Cedera Global Burden Diseases 2019, asma adalah salah satu dari lima penyebab kematian utama di seluruh dunia, bersama dengan penyakit paru obstruktif kronik (COPD), pneumonia, kanker paru-paru, dan tuberkulosis.
Baca Juga: Pemprov DKI Perbanyak Bus Listrik untuk Kurangi Polusi Udara
Menanggapi tingginya prevalensi asma dan PPOK, pemerintah memperkuat layanan kesehatan primer yang merupakan bagian dari enam pilar strategis transformasi kesehatan.
Nadia mengatakan, “Polusi udara dapat memicu serangan asma, sehingga pemerintah fokus pada penguatan layanan kesehatan primer untuk memberikan diagnosis asma dan pengobatan untuk memastikan bahwa penderita asma memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang memadai dan berkualitas.”
Upaya penguatan fasilitas pelayanan primer antara lain dengan menyediakan peralatan spirometri ke Puskesmas. Spirometri telah mulai diberikan oleh para profesional kesehatan yang terlatih, yang akan meningkatkan kemampuan dokter untuk mendiagnosis asma dan memberikan pasien akses terhadap obat-obatan yang tepat untuk penatalaksanaan klinis.
Nadia mengatakan, saat ini dokter Pashmas memiliki kompetensi inti pada 144 penyakit. Namun, khususnya untuk asma, ketersediaan obat di fasilitas pelayanan kesehatan primer (FKTP) masih tidak sesuai dengan pedoman dan rekomendasi penatalaksanaan asma setempat dan dapat meningkatkan kejadian serangan asma akut.
“Yang tidak tercakup dalam 144 penyakit, baik peningkatan gejala klinis yang parah, perkembangan penyakit, kurangnya dana dan infrastruktur pengobatan dan obat-obatan esensial, adalah ruang lingkup FKRTL,” tegasnya.
Ketua Kelompok Kerja Perhimpunan Paru Indonesia (PDPI) Bidang Asma dan PPOK, Dr. Budhi Antariksa, SpP(K) mengatakan obat-obatan yang ada di Puskesmas hanya untuk mengobati asma berat.
Tidak boleh digunakan untuk pengobatan asma jangka panjang yang memerlukan rujukan ke rumah sakit dengan akses terhadap pengobatan yang tepat.
Meskipun asma merupakan sumber daya utama bagi dokter umum di puskesmas, PDPI mengingatkan pemerintah bahwa mereka harus membekali puskesmas dengan inhaler terkontrol.
“Memang dokter umum berkompeten dalam 144 penyakit, termasuk asma bronkial, namun jika obat pengendali di Pushkisma belum tersedia, sebaiknya dokter Pushkisma mengikuti anjuran BPJS. Sebaiknya pasien asma dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan khusus.” – Dia berkata. dikatakan.
Kurangnya obat inhalasi di puskesmas merupakan faktor yang menyebabkan tingginya biaya pengobatan asma dan meningkatkan risiko serangan asma yang tidak terkontrol.
“Tanpa tersedianya obat pengontrol penting ini di puskesmas, risiko terhadap pasien asma akan terus meningkat dan mengakibatkan lebih dari 57,5 persen pasien asma datang ke unit gawat darurat ketika kondisinya tidak terkendali. Jadi perawatan spesialis rumah sakit akan diperlukan,” katanya.
Hasil penelitian Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia (CHEPS UI) yang melakukan penelitian tentang peningkatan ketersediaan pengobatan di puskesmas untuk 144 penyakit di bawah kompetensi dokter umum. , yaitu diabetes.
CHEPS UI mengatakan peralihan terapi insulin dari rumah sakit ke puskesmas dapat mengurangi beban biaya perawatan diabetes pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebesar 14% atau sekitar 17% per tahun.
Perkiraan penghematan anggaran sekitar Rp 22 triliun (2024-2035), setara dengan rata-rata penghematan sebesar Rp 1,7 triliun per tahun.
Nadia menutup, “Dengan meningkatkan kapasitas layanan kesehatan primer, kita dapat membantu para pemangku kepentingan, khususnya para profesional kesehatan dan asosiasi profesi, untuk bersama-sama memperkuat Fasilitas Kesehatan Garda Depan (FKTP). (esy/jpnn)