PraxiSurvey Sebut Ada Kesenjangan Narasi Terkait Program Hilirisasi di Indonesia

saranginews.com, Jakarta – Humas Praxis Indonesia melaksanakan Survei Praxis IV bertajuk “Sentimen masyarakat terhadap kebijakan hilirisasi minerba di Indonesia tahun 2024.”

Penelitian ini memberikan studi kasus kata kunci hilir yang berasal dari percakapan internet di platform berikut: Twitter (X), Facebook (Fanpage), Youtube, Instagram, dan TikTok antara tanggal 1 Januari hingga 30 Juni 2024. menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.

Baca juga: Ditjen Minerba: PNBP Sektor Pertambangan Capai Rp 173,5 Triliun

Sofian Herbowo, Direktur Public Affairs PRAXIS, mengatakan terdapat perdebatan di Indonesia mengenai program hilirisasi mineral dan batubara (pertambangan) yang masih erat kaitannya dengan isu politik dan kebijakan makro pemerintah.​

Demikian disampaikan Sofian saat memaparkan temuan survei yang dilakukan di Jakarta, Rabu (31 Juli).

Baca juga: Harga Batu Bara Terpuruk, Saatnya Dongkrak Penerimaan Negara Minerba

Pemaparan hasil survei juga dihadiri oleh Bapak Hendra Sinadia, Sekretaris Jenderal Indonesia Mining Association (IMA). Direktur Pelaksana INDEF Dr. Esther Sri Astuti. Fahmy Radi, pakar ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM).

Ia menjelaskan, dalam wacana tersebut masih terdapat kesenjangan narasi isu hulu antara pemerintah dan masyarakat lokal.

Artikel terkait: Pastikan Efektivitas Pasokan Batubara Aman, PLN dan Ditjen Minerba Akan Lakukan Ini

Pak Sofian menjelaskan, survei ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kesadaran masyarakat mengenai kisah kebijakan hilirisasi minerba di Indonesia pada tahun 2024.​

Terdapat 26.142 percakapan dalam penelitian ini, dan mayoritas merupakan percakapan dengan emosi negatif.

“Hilirisasi menjadi salah satu topik yang populer di mata masyarakat dan mengacu pada kebijakan pemerintah yang meningkatkan nilai tambah produk alam melalui berbagai langkah turunannya,” kata Sofian.

Ia juga menjelaskan, terdapat kesenjangan narasi yang menyebabkan perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat lokal terhadap program hulu minerba.

Sofian memperkirakan pada tahap sosialisasi, pemerintah masih mengedepankan isu pertumbuhan ekonomi dan penciptaan nilai tambah ekonomi sebagai manfaat program hulu.​

Di sisi lain, cerita yang muncul dari masyarakat sipil mengenai downdraft menyangkut permasalahan terkait ruang hidup, lingkungan sosial, dan keberadaan masyarakat adat.

“Ini berarti terdapat kesenjangan yang signifikan antara klaim pemerintah dan suara pengaduan masyarakat sipil dari komunitas yang terkena dampak,” lanjutnya.

Bapak Sofian kemudian memberikan rekomendasi strategis kepada pemerintah, industri, dan organisasi masyarakat sipil.

Ia menyusun dan membangun narasi aliran mineral dan batubara yang tidak hanya fokus pada manfaat ekonomi, namun juga memperhatikan dampak hilir seperti biaya eksternal dan dampak lingkungan, sosial, dan dampak lainnya yang disarankan.

Sofian juga mengusulkan pembukaan forum dialog dengan aktor dan organisasi masyarakat sipil yang sangat kritis terhadap kebijakan hulu mineral dan batubara.

“Kami juga merekomendasikan untuk mendorong operasional pertambangan dan operasional pertambangan untuk melakukan analisis dampak lingkungan dan sosial untuk menghindari kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia melalui praktik bisnisnya,” ujarnya.

Bahkan, pakar ekonomi energi UGM Dr. Fahmy Rady mengamini penelitian tersebut.

Menurut dia, kesenjangan digital ini disebabkan karena pemerintah kurang memahami konsep underflow.

Ia menjelaskan, setiap orang masih memiliki definisi hilirisasi yang berbeda-beda sehingga menimbulkan kesenjangan narasi hilir antara pemerintah dan masyarakat.

“Kesenjangan narasi ini perlu diisi dengan strategi komunikasi yang komprehensif dengan menggunakan saluran komunikasi yang ada,” kata Fahmy.

Senada, Sekretaris Jenderal Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengungkapkan, partainya mendukung penuh agenda politik pemerintah saat ini.​

Namun demikian, masih terdapat kesenjangan dalam memahami implikasi hilir pada sektor pertambangan mineral dan batubara.

Dia menjelaskan, downflow kini dianggap masyarakat sebagai hal biasa, padahal sifat masing-masing mineral dan batubara berbeda satu sama lain.

“Sebenarnya keberhasilan proses hilirisasi juga dipengaruhi oleh ada tidaknya industri dalam negeri yang mampu menyerap produk hilir. Jadi yang perlu kita pertimbangkan kembali adalah kesenjangan pemahaman kita tentang hilirisasi itu sendiri,” jelas Hendra.

Secara keseluruhan, sebagian besar penelitian ini dilakukan di Platform X (40,45%), dan percakapan didominasi oleh sentimen negatif.

Percakapan lainnya terjadi sebesar 28,76 persen di YouTube, 21,20 persen di Instagram, 5,6 persen di halaman penggemar Facebook, dan 3,91 persen di TikTok.

Bicara soal gender, perbincangan didominasi oleh kelompok laki-laki, yang selanjutnya didominasi oleh generasi Milenial atau Generasi Y (mcr8/jpnn).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *