Deddy Sitorus Bicara Soal Perubahan Sikap Jokowi Setelah Pilpres 2019, Jleb Banget!

saranginews.com, JAKARTA – Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Hanteru Sitorus mengutarakan pendapatnya soal perubahan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) pasca Pilpres 2019.

Pandangan itu disampaikan Deddy dalam diskusi bertajuk ’26 Tahun Reformasi Presiden RI Jokowi’ di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, Rabu (31/7).

BACA: Deddy Sitorus Anggap Deklarasi Persatuan Jokowi Kosong, Irwan Fecho: Luar Biasa

Seorang anggota DPR di daerah pemilihan Kalimantan Utara (Kaltara) mengaku pertama kali menyadari kecurangan Jokowi sejak terpilih kembali menjadi presiden pada Pilpres 2019.

“Yah, kapan kamu pertama kali mendengarnya? Kita pertama kali sadar kalau Pak Jokowi penipu, itu tahun 2019. Sehari setelah keputusan MK mengenai hasil pemilu, kata Deddy dalam keterangannya, Kamis (1/8).

BACA: Deddy Sitorus menduga hal inilah yang membuat Jokowi keluar dari PDIP

Petinggi PDIP menyebut saat itu, Jokowi mengundang pengacara ke Istana.

Saat itu, kata Deddy, Jokowi menanyakan apakah tiga kata itu bisa ia selesaikan.

BACA JUGA: Soroti Kegagalan Jokowi, 98 Aktivis Ajukan Petisi Selesaikan Peristiwa 27 Juli

“Saya pikir saya ingin mengucapkan terima kasih, mengajak saya makan malam, mungkin saya berharap menjadi komisaris atau apalah, tapi ternyata saya diminta tiga syarat,” jelas Deddy.

“Ini yang saya dengar dari salah satu orang yang mengikuti acara tersebut. “Baru sehari setelah Mahkamah Konstitusi mengumumkan hasil pemilu 2019, muncul gagasan untuk menunggu selama tiga bulan,” imbuhnya.

Sejak saat itu, kata Deddy, pemerintahan Jokowi mulai melanggar hukum hingga menekan demokrasi.

“Mulai tahun 2019, para konglomerat oligarki mulai rutin ke Istana untuk makan dan minum. Apalagi karena ini Istana Bogor, kalau Istana Negara, orang bisa keluar masuk dengan mudah. Di Istana Bogor, kita tidak tahu kalau bapak ini sebenarnya mendapat informasi itu dari orang-orang dekat Jokowi “orang kaya sudah tidak bersama rakyat lagi,” kata Deddy Sitorus.

Oleh karena itu, kata dia, situasi Jokowi saat ini telah berubah, dengan alasan yang sama.

“Jadi perubahan itu sangat penting,” ujarnya.

Oleh karena itu, Deddy membandingkan situasi saat ini dengan masa reformasi yang menandai jatuhnya rezim otoriter Soeharto.

“Kita kembali ke era inovasi. Semua kesalahan ada pada Soeharto. Ini semua tentang Jokowi sekarang. Itu dia. “Kita mengulangi sejarah lagi,” keluhnya.

Deddy pun membeberkan berbagai tanda bahwa situasi saat ini seperti kembali ke era orde baru.

Menurut dia, salah satu temuannya adalah perluasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Undang-undang pemberantasan korupsi yang ada di komisi ini semakin lemah. KPK lemah, Bung Saut (mantan Wakil Ketua KPK). Kalau tidak salah, itu terkait dengan penugasan keamanan saat itu, salah satu kota di Sumatera dan salah satu kota di pulau Jawa. Karena aku tidak ingin masalah. Dan itu berhasil. Kami berpartisipasi. Mudah-mudahan hanya ada satu agenda. Ada Dewas yang bisa menjaga kebersihan KPK. Kejadian ini membuat kami marah,” jelasnya.

Deddy pun mengutip pernyataan Komisioner KPK Alex Marwata yang menyebut independensi lembaga antirasuah sudah hilang.

“Bahkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini tidak mau menjadi sukarelawan karena menilai Komisi Pemberantasan Korupsi sudah tidak relevan lagi. Faktanya, survei yang dirilis kemarin menunjukkan 61 persen masyarakat tidak lagi percaya pada KPK. Apa itu?, kata Deddy.

Selain itu, Deddy menilai Jokowi terkesan menempuh jalur politik Machiavellian yang menjamin segala cara untuk meraih kekuasaan.

“Saya memikirkan Tuan. Jokowi, mungkin waktu kita SMA, mungkin dia membaca Alfred Hitchcock. Saya yakin Pak Jokowi sudah membaca Machiavelli. Mungkin buku itu remuk di bawah bantal. Karena politik Machiavelli terjadi. Semuanya tidak benar, tidak sama,” tutupnya.

Sejumlah pembicara turut hadir dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Permusyawaratan Nasional Hukum Demokrasi dan Reformasi (LANDEP) yaitu Erros Djarot (Pahlawan Kebudayaan dan Reformasi 1996-1998), Airlangga Pribadi Kusman (analis politik dan guru besar FISIP Unair. Surabaya).

Selain itu, hadir juga Saut Situmorang (Wakil Komisi Pemberantasan Korupsi 2016-2019 dan pengelola kebijakan publik) dan Refly Harun (Ahli Konstitusi dan Hukum) sebagai narasumber. (mar1/jpnn)Jangan lewatkan video pilihan editor ini:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *