saranginews.com, JAKARTA – Negara-negara ASEAN diminta bersatu melawan agresi Tiongkok di Laut Cina Selatan (LCS).
Keheningan ini memperkuat kemampuan Tiongkok untuk melakukan tindakan agresif terhadap negara-negara yang perbatasannya tumpang tindih dengan Tiongkok.
Baca juga: Filipina, Kapal China Bertabrakan di Laut China Selatan, AS Turun Tangan
Hal itu terungkap dalam diskusi bertajuk “China dan Keamanan Maritim di Laut China Selatan: Perspektif Indonesia dan Filipina”, yang digelar Lembaga Kebijakan Publik Permedina (PPPI) dan Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Kamis (25/7). . ).
Ketua FSI, Johannes Harlianto, menilai strategi yang diterapkan Filipina melawan agresi Tiongkok patut menjadi pembelajaran bagi negara-negara lain yang mengalami hal serupa.
Baca juga: FSI serukan anggota ASEAN bersatu dan atasi tantangan Tiongkok di LCS
Pendekatan agresif tersebut terlihat dari penerapan tindakan yang disebut sebagai zona abu-abu (grey zone) terhadap negara-negara yang mempunyai hak berdaulat atau berdaulat atas perairan yang diakui Tiongkok sebagai miliknya.
“Tentu saja menerima kedaulatan Tiongkok berdasarkan klaim masa lalu adalah bertentangan dengan hukum maritim internasional, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang diratifikasi oleh Tiongkok sendiri,” kata Johannes.
Baca juga: Protes di Depan Kedutaan Vietnam, Ribuan Fermi Tolak Pelecehan di ZEE dan LCS Indonesia.
Alih-alih mematuhi UNCLOS, RRT justru berusaha memenuhi klaim kedaulatannya dengan menerapkan rezim zona abu-abu di bawah wewenang Komisi Militer Pusat (CMC) yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping, angkatan laut bertindak sebagai nelayan. Penjaga Pantai dan Bala Keselamatan Nasional.
Menurut Johannes, deklarasi sepihak Tiongkok yang diwakili oleh sembilan garis putus-putus itu sangat bertentangan dengan keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional yang diajukan Filipina pada tahun 2016.
Namun China tidak mengklaim memiliki mayoritas LCS, namun taktiknya masih berada di wilayah abu-abu. Filipina menjadi salah satu tujuan khususnya dalam dua atau tiga tahun terakhir.
Sementara itu, Direktur Kerja Sama Badan Keamanan Laut (Bakamla), Laksamana Pertama Aka Setri, menekankan pentingnya kerja sama antar aparat penegak hukum dari berbagai negara.
Menurut Laxma Sattari, tidak ada negara yang bisa menangani permasalahan maritim sendirian. Oleh karena itu, menurutnya kerja sama antar negara merupakan hal yang penting.
Laksma Satari berbicara di Forum Perlindungan Lingkungan ASEAN yang didirikan pada tahun 2002, sebagai contoh kerja sama antar negara di kawasan. Forum ini bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dalam pengembangan kapasitas, pengawasan dan operasi maritim antar lembaga penjaga pantai negara-negara ASEAN.
Pentingnya kerja sama antara penegak hukum dan lembaga keamanan di negara-negara ASEAN juga ditekankan oleh pakar hubungan internasional Muhammad Riza Vidyarsa. Ia memperkirakan kerja sama ini bisa meredam perilaku agresif Tiongkok di LCS.
Menurutnya, kemitraan tersebut dibangun selama sepuluh tahun terakhir. Selain Forum Perlindungan Lingkungan ASEAN, pada tahun 2013 juga dibentuk ‘Southeast Asia Maritime Law Initiative’ yang merupakan inisiatif otoritas penegak hukum maritim Amerika Serikat (AS), Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Malaysia.
Menurut Widyarsa, kerja sama antar negara di ASEAN sangat penting untuk menghadapi Tiongkok dan perilaku agresifnya, karena bergantung pada kekuatan eksternal (seperti AS) saja tidak cukup.
“Kerja sama antar negara di kawasan ini penting dan efektif, terutama ketika diperlukan respons cepat,” ujarnya. (jlo/jpnn)