saranginews.com – Pemimpin oposisi Partai Demokrat Rakyat (PRD) Wilson Obrigados mengatakan penting bagi semua orang untuk mengetahui peristiwa berdarah 27 Juli 1996 di kantor Partai Demokrat Indonesia (PDI), Jalan Diponegoro No. 58, Menteng, Jakarta Pusat atau Kudatuli.
Hal itu diungkapkan Wilson saat menjadi panelis Perspektif Politik: Melawan Pemerintahan Otoritarian di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta Pusat pada Sabtu (20/7).
Baca Juga: Mbak Ning, Bicara di Konferensi Kudatuli: Reformasi Bisa Bantu Anak Hutan Jadi Presiden.
Hadir pula dalam pertemuan tersebut Sekjen PDI Perjuangan Hasto Cristiano dan beberapa Pengurus DPP PDIP seperti Rebekah Tjiptanning, Sri Rahyu, Uke Yurike, Bonnie Triana.
Menurut Wilson, peristiwa Kudatuli bisa menjadi pembelajaran politik atas banyaknya aksi protes yang muncul dari bawah untuk menuntut keadilan dan demokrasi.
Baca Juga: Rencana Tengah Pembicaraan Kudatuli 1996, Romo Benny Harap Tak Ada Lagi Pemerintahan Otoriter
“Mayoritas PDI yang disebut undercurrent juga sedang berjuang, bukan hanya untuk mencari keadilan bagi partainya, kalau dilihat ya, di banyak tempat mereka mengupayakan perjuangan demokrasi yang lebih luas,” ujarnya dalam wawancara di Sabtu.
Wilson mengatakan, peristiwa Kudatuli akhirnya membawa ABRI ke titik terendah. Penghapusan tugas ganda dan kesejahteraan pekerja.
Baca Juga: Kisah 3 Kepala Suku Terpilih Melindungi Kudatuli dan Megawati
“Menolak dua operasi ABRI, mencari upah yang nyaman bagi buruh, hal-hal yang tadinya di luar frame, mungkin merupakan perkembangan dialektis yang jarang terjadi dari arus bawah PDI saat itu,” lanjut mantan mahasiswa Universitas Indonesia itu.
Wilson mengungkapkan, Kudatuli sebenarnya merupakan puncak dari bagaimana pemerintahan Orde Baru (Orba) era Suharto merasa risih dan ingin menggulingkan kepemimpinan Megawati Soekarnoputri di PDI.
“Kita tahu Orde Baru mende-Sokarnoisasi dan membunuh Sokarnoisme secara ideologis dan politik,” kata aktivis Pusat Perjuangan Buruh Indonesia.
Wilson mengatakan kehadiran Megawati di panggung politik mengancam Orde Baru, karena perempuan kelahiran Yogyakarta bisa membawa Sokarnoisme dan Marhanisme.
“Saya kira ketakutan utama Soeharto adalah bangkitnya PDI di bawah kepemimpinan Ibu Megawati,” jelasnya.
Menurut Wilson, Orde Baru juga khawatir Megawati akan tetap berpegang pada ideologi Trishakti yang coba diberantas oleh Soeharto.
“Dan kita tahu ideologi Sokarnoisme mengutamakan trinitas, yaitu kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, individualisme budaya. Ketiga hal itu dihancurkan oleh Orde Baru,” ujarnya.
Pada akhirnya, kata Wilson, kebangkitan Megawati dengan impian kembali ke Trishakti menguatkan semangat Wong Silik untuk melawan elite.
“Ini merupakan tantangan terbuka dari kalangan bawah atau Wong Cilik terhadap kekuasaan yang lebih tinggi yang diwakili oleh pemerintahan Orja Soeharto melalui Partai Golkarnya,” ujarnya. (ast/jpnn)