saranginews.com, SUKOHARJO – Desa Trangson yang terletak di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, memiliki sejarah panjang dalam mengolah rotan menjadi barang rumah tangga yang bermanfaat.
Industri rotan di daerah ini dimulai hampir satu abad yang lalu oleh pionirnya Ki Demang Wangsolaksono.
Baca juga: Cegah Serangan Siber, BRI Terapkan Strategi Perkuat Keamanan Digital
Pembuatan rotan sudah menjadi tradisi di desa tersebut dan diwariskan kepada anak cucu.
Perkembangan pengolahan rotan di daerah tersebut sangat pesat, Desa Trangsan dikenal sebagai sentra industri penghasil kerajinan rotan terbesar di Jawa Tengah dan kedua di Indonesia.
Baca juga: DPK BUMN meningkat 102,5 persen, BRI jadi penyumbang dividen terbesar
Sayangnya pada tahun 2005 terjadi penurunan drastis karena para perajin sulit mendapatkan bahan baku rotan akibat kenaikan harga di pasar internasional.
Untuk mengatasi hal itu, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo membentuk Kelompok Rotan Truongsan sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan para perajin.
Baca juga: Ini Strategi Ampuh BRI untuk Kembali Sukses di Kancah Internasional
Hingga saat ini, setidaknya terdapat lebih dari 200 orang yang tergabung dalam Kelompok Rotan di Desa Trangsan.
Namun perjalanan dari cluster rotan di desa tersebut tidak selalu mulus.
Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Agung, anggota Grup Rotan Trangson, terkadang ada anggota yang mengeluhkan antusiasmenya terhadap biaya dan produktivitas.
Makanya kami sebagai penyelenggara mencoba mengusulkan kepada pemerintah daerah untuk mengadakan pelatihan dan studi banding, siapa tahu bisa meningkatkan produktivitas para perajin di sini, kata Agung.
Dari bahan baku rotan, anggota klaster desa ini berhasil membuat berbagai benda fungsional dan kerajinan tangan yang memiliki nilai estetika tiada tara.
Mulai dari bingkai cermin, kursi, meja, tas, tempat tidur, tempat koran dan masih banyak lagi.
Dari beragamnya produk yang dihasilkan, penjualan dilakukan ke pasar lokal dan pasar ekspor ke berbagai negara mulai dari Amerika, Eropa, Asia hingga Australia.
Sedangkan kerajinan yang diekspor sebagian besar merupakan produk furnitur, kata Agung.
Agung mengatakan, omzet kotor yang diperoleh dari penjualan tersebut sangat besar.
“Kalau ramai, cluster rotan ini sebulan bisa terjual 400-600 peti. Satu kontainer mebel harganya sekitar Rp 100-150 juta. Tapi kalau kerajinan tangan, harga kontainernya sampai 400 juta,” kata Agung. kepada BRI My Life. Program Klaster Terima kasih
Perkembangan yang dialami Kelompok Rotan di Desa Trangsan tidak lepas dari bantuan dan dukungan yang diberikan BRI.
Selain pendanaan usaha, Klaster Rotan Trongsan juga mendapat pemberdayaan melalui Program Klaster My Life dari BRI.
BRI melalui Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan BRI Peduli juga menyalurkan bantuan peralatan usaha kepada Grup Rotan Trungsan untuk mendukung produktivitas dan pertumbuhan bisnis.
“Peralatan usaha ini tentunya akan menunjang proses pengolahan rotan. “Berbagai alat yang telah diberikan telah dibagikan kepada banyak pengrajin rotan yang tergabung dalam Kelompok Rotan Trungsan,” kata Agung.
Dalam kesempatan khusus, Direktur Bisnis Mikro BRI Supari menyampaikan bahwa program Klaster My Life yang dicanangkan BRI merupakan wadah yang dapat dimanfaatkan oleh UMKM untuk mengembangkan usahanya.
Melalui pemberdayaan dan pendampingan ini, UKM dapat mengembangkan produknya dan memperluas usahanya.
Supari menambahkan, BRI berkomitmen untuk mendukung dan membantu UMKM agar tumbuh dan tangguh, tidak hanya dalam bentuk permodalan usaha, namun juga dalam bentuk pelatihan usaha dan program pemberdayaan lainnya.
“Semoga kisah Kelompok Rotan Trangsan ini dapat menjadi kisah inspiratif bagi UMKM di daerah lain untuk ditiru,” kata Supari. (mrk/jpnn)