saranginews.com, BANDUNG – Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bandung menggerebek kantor Unit Pelayanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung.
Pencarian berlangsung sekitar enam jam, mulai pukul 11.00 WIB hingga 17.30 WIB pada Rabu (7 Oktober).
BACA JUGA: Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) Klaim Proyek Kementerian Korupsi PUPR Lemahkan Tempat Perlindungan Tsunami
Kepala Kejaksaan Agung (Kajari) Bandung Irfan Vibovo mengatakan, selain kantor ULP, rumah anggota kelompok operasi (pokja) Unit Pengadaan juga digeledah.
Penggeledahan dilakukan terhadap dugaan adanya kesepakatan penawaran karya antara kelompok kerja dengan peserta lelang terkait sejumlah proyek atau tender karya.
BACA JUGA: Tim Intelijen Mataram Tangkap Buronan Dana Korupsi APM Tabanan
Namun Irfan tak menjelaskan secara rinci tender apa saja dan instansi mana saja yang dikajinya. Pihaknya juga memastikan tidak ada tersangka dalam kasus tersebut.
“Kami telah melakukan pencarian untuk menjelaskan masalah ini.” “Kami sedang mengumpulkan bukti-bukti yang ada untuk melengkapi berkas perkara, termasuk pencarian tersangka, siapa pun dia,” kata Irfan dalam konferensi pers di Kejaksaan Kota Bandung, Jalan Jakarta.
BACA JUGA: Polisi menggeledah rumah warga di Situbond. Hasilnya sungguh mencengangkan
Sementara itu, Kepala Intelijen Kejaksaan Kota Bandung Wawan Setiawan menambahkan, berdasarkan pemeriksaan sementara, diduga ada lelang proyek Tahun Anggaran 2024 (FI) yang dilakukan Satgas ULP.
“Jadi penyelidikan kami mengidentifikasi transaksi antara pemasok dan gugus tugas ULP.” Oleh karena itu, kami segera mengambil tindakan penyitaan barang elektronik tersebut, yang dapat menjelaskan hal tersebut,” kata Wawan.
Caranya, kata dia, Satgas ULP membeberkan sejumlah dokumen kepada pengusaha atau peserta lelang, seperti rincian teknis proyek (DED), rancangan anggaran (RAB), dan perkiraan harga (HPS).
“Cara yang dilakukan Kelompok Kerja (ULP) saat ini adalah dengan membocorkan (dokumentasi) dengan janji pemasok akan memenangkan tender.” Dengan memberikan uang kepada pemasok maka pemasok akan mendapatkan DED, HPS dan RAB,” ujarnya.
Ia mengatakan, setiap penawar yang ingin mendapatkan dokumen proyek yang bocor tersebut harus membayar kepada anggota Pokja ULP dengan jumlah berkisar antara Rp5 juta hingga Rp10 juta. Praktik ini diduga diterapkan di 14 proyek pengadaan publik.
“Dengan mengajukan DED, pemasok mengetahui seberapa banyak yang bisa dikerjakan dan hal-hal penting apa saja yang bisa dikerjakan sebagai bagian dari paket pekerjaan,” ujarnya.
Sementara berdasarkan hasil penggeledahan yang dilakukan di dua lokasi, penyidik Kejari menyita 74 barang bukti mulai dari dokumen, laptop hingga telepon genggam milik anggota Satgas R dan R. (mcr27/jpnn)