Seaplane, Solusi Mengatasi Keterbatasan Transportasi Darat dan Laut di Indonesia

saranginews.com, JAKARTA – Pengamat kelautan dari IKAL Strategic Center (ISC), DR. Kapten. Marcellus Hakeng Jayawibawa menegaskan, pengoperasian pesawat amfibi di pelabuhan membuka peluang baru bagi transportasi dan pariwisata di Indonesia.

Pesawat amfibi ini diharapkan mulai saat ini berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (DJPL).

BACA JUGA: Maluku Tabao: Bangkitkan Semangat Maritim Masyarakat Menuju Visi Maritim 2045

“Pesawat amfibi yang mampu lepas landas dan mendarat di permukaan air menawarkan solusi transportasi yang unik dan efisien, terutama di daerah terpencil yang sulit dijangkau melalui darat maupun laut,” jelas sang kapten. Hakenga, Jakarta, (21.06). 

Namun, seperti yang dikatakan Kapten Hackeng – sapaan akrabnya –, pelaksanaan layanan pesawat amfibi ini perlu pertimbangan matang untuk menghindari konflik kekuasaan dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJPU).

BACA JUGA: Pendaratan Pesawat Amfibi Pertama di Danau Toba Pecahkan Rekor MURI

“Hal ini memerlukan kerja sama yang erat antara DJPL dan DJPU. Harus ada kerangka peraturan yang jelas, serta pelatihan dan persiapan infrastruktur yang memadai, yang merupakan kunci untuk memastikan operasional yang aman dan efisien,” lanjut Kapten Hacken.

Ia melanjutkan, perbedaan DJPL dan DJPU bisa menimbulkan konflik kekuasaan.

BACA JUGA: Pesawat Amfibi Akhirnya Resmi Terbang ke Pulau Bava

DJPL bertanggung jawab atas pengelolaan pelabuhan dan maritim, sedangkan DJPU mengatur penerbangan sipil dan operasional bandar udara.

“Jadi jika pesawat amfibi mulai melintas di pelabuhan-pelabuhan yang dikelola DJPL, DJPU bisa mempertimbangkannya sebagai bagian dari aturan penerbangan,” kata Hacken.

Oleh karena itu, tambah Haken, kerangka peraturan yang jelas yang menentukan batasan kewenangan masing-masing direktorat dalam mengelola operasional pesawat amfibi menjadi penting.

Aturan-aturan ini harus mencakup aspek keselamatan, prosedur operasi dan tanggung jawab pengawasan.

“Kerja sama DJPL dan DJPU sangat penting untuk mengatasi kemungkinan konflik kekuasaan. “Kedua direktorat harus bekerja sama dalam perencanaan dan pelaksanaan pelayanan pesawat amfibi,” tegas Haken.

Ketua Bidang Organisasi dan Distribusi Jaringan Kader Pengurus Pusat Pemuda Katolik ini juga mengingatkan, dengan langkah strategis tersebut, kemungkinan terjadinya tumpang tindih kewenangan DJPL dan DJPU dapat dikurangi.

Kerjasama yang erat, kerangka hukum yang jelas dan pelatihan yang memadai serta persiapan infrastruktur memastikan bahwa manfaat ekonomi dan sosial dari layanan pesawat amfibi dapat dimaksimalkan tanpa mengorbankan keselamatan dan efisiensi operasional.

“Layanan pesawat amfibi yang sukses tidak hanya akan meningkatkan konektivitas dan aksesibilitas ke daerah-daerah terpencil, tetapi juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan pariwisata dan perekonomian Indonesia,” lanjutnya.

Ia menambahkan bahwa ICAO Annex 14 juga mengakui keberadaan dan pentingnya kedua jenis bandara, darat dan air, tanpa membedakan permukaan operasi dalam standar umumnya.

Menurut pengamat maritim kritis ini, lapangan udara darat dan laut mempunyai karakteristik struktur dan fasilitas pendukung yang sangat berbeda.

“Jalan lingkar di bandara pedesaan dibangun dari material keras, seperti aspal atau beton, yang dirancang untuk menopang bobot pesawat dan memberikan permukaan yang stabil dan rata,” kata kapten. Marcel Hacken Jayawibawa.

Sebaliknya, lanjut Hackeng, pesawat amfibi menggunakan air sebagai permukaan kerja yang memiliki sifat fisik berbeda-beda, antara lain dinamika gelombang, pasang surut, dan fluktuasi ketinggian air.

“Untuk dapat beroperasi dengan aman di permukaan air diperlukan desain pelampung atau badan pesawat yang berbeda,” jelasnya.

Selain perbedaan struktur landasan pacu, bandara darat dan perairan juga mempunyai kemampuan pendukung yang sangat berbeda.

Bandara darat biasanya dilengkapi dengan taxiway, apron, hanggar, dan terminal penumpang, sedangkan bandara berbasis air memerlukan lebih banyak pelabuhan atau dermaga, fasilitas berlabuh, dan operasi khusus untuk perawatan pesawat di atas air.

“Perbedaan ini menunjukkan bahwa standar desain dan konstruksi bandara darat tidak dapat langsung diterapkan pada bandara air tanpa modifikasi yang sesuai,” kata Hacken.

Meskipun ada perbedaan signifikan dalam desain dan pengoperasian, Hacken menambahkan bahwa salah satu kriteria utama sertifikasi adalah semua bandara, baik darat maupun laut, harus memiliki sistem manajemen keselamatan (SMS) yang memadai.

“SMS mencakup kebijakan keamanan, manajemen risiko, dan jaminan keamanan.”

Penerapan manajemen keamanan yang konsisten dan komprehensif sangat penting untuk menjamin keamanan operasional kedua jenis bandara tersebut.

“Kebijakan keamanan harus menetapkan standar yang harus diikuti, sementara manajemen risiko melibatkan identifikasi dan mitigasi risiko yang terkait dengan operasi spesifik di semua jenis bandara,” kata kapten. Marcel Hacken Jayawibawa.

Penerapan SMS di bandara darat melibatkan pengelolaan risiko yang terkait dengan operasi darat seperti tabrakan pesawat dan kondisi landasan pacu.

Di sisi lain, penerapan SMS di bandara perairan memerlukan identifikasi dan mitigasi risiko yang terkait dengan pengoperasian perairan, seperti kondisi cuaca ekstrem, dinamika gelombang, dan interaksi dengan pengoperasian lepas pantai.

Oleh karena itu, perlu juga dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penerapan kebijakan keselamatan khususnya terkait lingkungan perairan, serta pelatihan dan pendidikan personel mengenai keselamatan kerja di air, termasuk penanganan situasi darurat di air. dia menyimpulkan. (flo/jpnn)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *