Skema Cost Recovery Dinilai Lebih Bisa Mendorong Investasi Migas

saranginews.com, JAKARTA – Direktur Khalid Sierzi Direktur Pusat Kebijakan Energi, Muhammad Khalid Sierzi memperkirakan program cost recovery di industri migas memiliki prinsip sharing the load atau berbagi penderitaan secara adil, bagi masyarakat. kontraktor dan perusahaan pemerintah. .

Selain itu, ada juga sistem dan proses penggantian biaya yang ketat.

Baca juga: Komisi RDP VII: Hanya Produksi Migas Pertamina yang Naik

Khalid juga mengatakan skema cost recovery juga cocok diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan gross sharing.

Pasalnya, sumur lokal kini tergolong modal sehingga membutuhkan biaya besar untuk mempertahankan produksinya.

Baca juga: Jamkrindo bagikan 1500 kupon hewan kurban kepada masyarakat

“Cost recovery itu paling adil, apalagi sumur kita sudah dianggap matang. Butuh biaya besar untuk mempertahankan produksi,” kata Khalid.

Menurut Khalid, program cost recovery kemungkinan besar akan meningkatkan produksi. Selain itu, pemerintah saat ini memiliki target produksi sebesar satu juta barel per hari pada tahun 2030.

Baca Juga: Pertama Kali, Pertamina Patra Niaga JBB Miliki SMEXPO

“Misalnya kita punya rencana untuk meningkatkan produksi minyak sebesar satu juta barel per hari pada tahun 2030, tapi tidak didukung dengan cost recovery, maka itu tidak mungkin. Tidak mungkin,” kata Khalid.

Tak kalah pentingnya, sumur-sumur di Indonesia saat ini lebih banyak mengandung air dibandingkan minyak. Oleh karena itu, menghilangkan minyak ini memerlukan usaha dan teknologi yang mahal.

Untuk itu, sangat wajar jika ada kontraktor yang ingin beralih lagi dari skema gross sharing ke cost recovery.

Sebab tanpa cost recovery, kata dia, kontraktor migas tidak punya insentif untuk melakukan ekspansi ke greenfield atau sumur dan cadangan baru.

Mereka lebih suka bermain di kebun kopi atau sumur yang sudah dikembangkan.

“Makanya ketika rencana penggantian biaya berubah menjadi gross split, sangat tidak menarik bagi kontraktor hulu migas. Dan jika hal ini terjadi terus-menerus, lama kelamaan bisa menyebabkan penurunan penerimaan negara dari sektor migas,” jelas Khalid.

Soal perubahan kontrak, pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mencontohkan blok Rokan.

Menurut Pri, rencana kontrak bagi hasil minyak mentah akan menyulitkan Pertamina Hulu Rokan untuk melanjutkan investasi besar-besaran di blok tersebut.

Faktanya, alokasi bruto tidak pernah tepat untuk daerah yang masih memerlukan pembangunan berisiko dan modal besar, jelas Perry.

Perry menambahkan, rencana investasi dan pengembangan Pertamina di blok kosong tersebut masih tergolong berisiko tinggi.

Di sisi lain, tambahnya, Pertamina harus menganggarkan kebutuhan investasi yang intensif untuk menghentikan penurunan produksi minyak dari blok tersebut (chi/jpnn).

Baca artikel lainnya… Kurban Bayram 2024, SIG bagikan 331 hewan kurban di 23 kabupaten

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *