saranginews.com, Jakarta – Ketua MPR Bambang Sosatio mengatakan, ketika masyarakat melihat dan merasakan pisau penegakan hukum dan memburuknya ketertiban umum, mereka mungkin akan prihatin dan mengeluh.
Kesadaran hukum juga terganggu karena sebagian masyarakat merasa tidak aman akibat sistem hukum yang tidak berfungsi dan efisien.
Baca Juga: Bamsot dorong perbaikan iklim investasi melalui bank tanah
Kebingungan akhir-akhir ini menjadi kenyataan, terbukti dengan tajamnya pedang hukum Indonesia.
Seseorang yang akrab disapa Bamsot mengatakan, “Ketika masyarakat harus berhadapan atau menyaksikan aparat penegak hukum yang terang-terangan menunjukkan musuhnya dengan tindakan nyata, sungguh. Banyak rasa frustasi dan kegelisahan.”
Baca juga: Bamsot Sebut Tak Ada Pernyataan Terima Presiden Dipilih MPR
Dia mengatakan wajah hukum negara yang ambigu juga bercampur dengan tindakan penegakan hukum yang sesuai dengan pandangan dan interpretasi hukum.
Masyarakat tahu bahwa korupsi adalah hal yang paling utama. Namun, sistem peradilan hanya menanggapi satu atau dua kasus korupsi secara serius.
Baca juga: Bamsot Sebut MPR Siap Amandemen UUD 1945
Sebaliknya, beberapa kasus korupsi lain dalam sistem yang sama ditangani dengan perilaku sistematis yang minimal.
Tidak jarang masyarakat beranggapan bahwa penegak hukum mempunyai pilihan dalam menyikapi banyaknya kasus yang terungkap ke publik.
Sabotase penegakan hukum selalu dilakukan oleh oknum yang tidak bermoral.
Misalnya, rekayasa membangun sebuah kasus dengan menjebak orang yang tidak bersalah sebagai penjahat dan menjadikan orang tersebut sebagai tersangka.
Misalnya saja kasus meninggalnya Vina di Sirban, hingga saat ini masyarakat terus bercerita tentang rekayasa pembunuhnya.
Di tingkat akar rumput, kejahatan yang menargetkan warga sipil merajalela.
Meningkatnya perampokan di jalan raya, parkir liar dan pajak ilegal (perampokan), ribuan klien pinjaman online atau Pinzol (pinjaman online) dari terorisme dan intimidasi.
Hampir setiap hari orang dirampok di berbagai kota. Berbagai lapisan masyarakat masih menderita akibat pungutan liar, misalnya asosiasi pedagang kaki lima, asosiasi angkutan umum, dan asosiasi supir truk.
Jumat (14/6) lalu, ratusan pengemudi truk yang tergabung dalam Badan Ketenagakerjaan Pengemudi Indonesia (RBPI) berdemonstrasi di depan Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bekasi, tidak bisa menoleransi ketidakadilan petugas yang tidak beretika di jalan raya. Kantor.
Ada pesan yang sangat mengecewakan dari komunitas pengemudi; “Uang rokokmu adalah uang makan untukku dan keluargaku.”
Klien Pinzol, korban terorisme dan intimidasi debt collector, merupakan bukti lain masyarakat yang tidak dilindungi sistem peradilan.
Jumlah kasusnya pun tidak sedikit. Sebuah laporan menyebutkan, antara Januari 2022 hingga Januari 2024, terdapat 39.866 pengaduan yang diterima terhadap korban pinjol ilegal.
Misalnya saja pada awal tahun 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat korban Pinzol terbanyak adalah guru (42 persen), PHK (21 persen), ibu rumah tangga 18 persen, dan pegawai 9 persen.
Korban lainnya adalah asosiasi, pedagang, pelajar, dan pengemudi motodup online.
Pakar perencanaan keuangan juga mengungkapkan bahwa beberapa komunitas Milenial dan Gen-Z terjebak dalam pinjaman dan investasi palsu.
OJK mencatat sekitar 30 hingga 40 persen korban investasi bodong adalah generasi milenial dan Gen-Z.
Fakta ini menjadi bukti lain bahwa sistem hukum tidak melindungi nasabah Pinzol ketika debt collector menerapkan rasa takut dan intimidasi dalam penagihan.
Dari berbagai fakta mengenai permasalahan kehidupan manusia sehari-hari, setidaknya dapat diambil dua kesimpulan; Sistem peradilan belum berfungsi secara efektif atau sistem peradilan belum berfungsi namun pedang penegakan hukum sudah bengkok atau terdistorsi.
Kedua kesimpulan ini harus melawan persepsi masyarakat terhadap tingkat ketertiban umum saat ini.
Di mata masyarakat, rekor yang muncul mengecewakan, penuh keluhan, bahkan dianggap tidak aman.
Seperti halnya depresi, orang hanya menjadi cemas ketika mereka merasa dan bertindak lebih banyak.
Seluruh aparatur negara, terutama yang mempunyai kewenangan menegakkan hukum, harus menyikapi secara bijaksana bila keadilan masyarakat diganggu.
Sistem peradilan di negara ini sangat baik. Sistem hukum mencakup berbagai peraturan perundang-undangan yang dikembangkan dan disepakati untuk mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat demi kebaikan bersama.
Cita-cita tersebut tercapai jika seluruh peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum dipatuhi dan sanksi diberikan kepada pelanggar peraturan perundang-undangan yang meragukan.
Kejahatan dan bentuk pelanggaran hukum lainnya kemungkinan besar akan selalu terjadi bersamaan.
Namun, sistem hukum yang berfungsi dengan baik dapat mengurangi kejahatan dan bentuk pelanggaran lainnya.
Kemampuan sistem peradilan dalam mengurangi kejahatan dan pelanggaran hukum lainnya sangat ditentukan oleh kinerja lembaga penegak hukum.
Kinerja aparat penegak hukum ditentukan oleh ketaatan dan kepatuhan terhadap fungsi dan tugas pokoknya (tupoksi).
Penegakan hukum ibarat pisau yang tajam. Tajam ke atas dan ke bawah.
Pisau penegak hukum tidak boleh tumpul atau tumpul.
Penajaman pedang penegakan hukum memang diperlukan untuk menjaga ketertiban umum atau kepentingan bersama.
Jika pisau penegak hukum mengering atau tumpul, buah menjadi tidak teratur dan mudah busuk.
Penolakan penegak hukum terhadap sistem hukum melemahkan norma-norma sosial.
Ketika norma-norma sosial dilanggar dan dibingungkan, ia menggambarkan tingkat peradaban masyarakat tersebut.
Oleh karena itu, sistem peradilan harus dimulai untuk memulihkan perdamaian masyarakat. Dan mohon jangan biarkan pedang hukum Indonesia menjadi tumpul atau tumpul. (jpnn)
Baca selengkapnya… Bamsot Minta TNI-Polri Buru Penjahat KKB, Tembak Tentara di Papua