saranginews.com, JAKARTA – Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat mengingatkan upaya memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina harus bersatu.
Sebab, menurutnya upaya tersebut merupakan bagian dari penerapan nilai-nilai Pancasila yang melindungi kemanusiaan.
BACA JUGA: Serang Kapal Kargo Transit Teluk Aden, Houthi Klaim Bela Palestina
Pernyataan tersebut disampaikan Lestari Moerdijat dalam diskusi daring dengan topik Dukungan Perempuan Pancasila: Bentuk Solidaritas Perempuan dan Anak dalam Konflik Palestina-Israel yang digelar di Forum Diskusi 12 Denpasar, Rabu (12/6).
Dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (13/6), Lestari Moerdijat mengatakan: “Berdiri bersama dengan masyarakat yang tertindas, menderita, terbelakang dan terbelakang adalah panggilan kemanusiaan yang melewati segala sekat perbedaan dan seluruh struktur kekuasaan.”
BACA JUGA: Gitar Eross Candra Dilelang untuk Palestina, Terjual Rp 125 Juta
Diskusi yang dilakukan Wakil Ketua MPR Arimbi Heroepoetri ini menghadirkan banyak narasumber.
Dimulai dari Willy Aditya (Anggota DPR), Athiqah Nur Alami (Presiden Pusat Kajian Kebijakan BRIN dan penulis artikel ‘Mengapa kita membutuhkan feminisme untuk menyerukan gencatan senjata di Gaza’).
BACA JUGA: Menteri Kemanusiaan Ida: Pentingnya Peran Internasional Atasi Masalah Buruh di Palestina
Pembicara lainnya, bernama Andy Yentriyani (Ketua Komnas Perempuan), dan Dina Y Sulaeman (Pakar Geopolitik Timur Tengah yang juga Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran)
Eva Kusuma Sundari (Direktur Sarinah Institute) turut hadir sebagai responden.
Menurut Lestari, dalam kapasitas kemanusiaan, segala bentuk normalisasi kekerasan tidak dapat diterima dengan alasan apapun.
“Dapat kita simpulkan bahwa perempuan Pancasila adalah perempuan yang menggunakan nilai-nilai Pancasila dalam setiap gerak dan perjuangannya,” kata Rerie yang akrab disapa pembicara tersebut.
Anggota DPR dari Daerah Pemilihan II Jawa Tengah ini menambahkan, nilai-nilai Pancasila mempunyai landasan gotong royong yang mencakup solidaritas dan persahabatan.
Rerie berharap: “Perempuan Indonesia dapat berperan aktif dalam berbagai cara dalam upaya melindungi hak-hak rakyat dan kemerdekaan bangsa Palestina dengan membangun solidaritas antar umat.”
Sementara itu, Anggota DPR Willy Aditya mengungkapkan penyebab krisis kemanusiaan tersebut adalah krisis kemanusiaan yang menimpa pemimpin Israel yang sewenang-wenang mengebom Palestina.
Menurut Willy, bukan Palestina yang paling bertanggung jawab atas penderitaan masyarakat Yahudi.
Ia juga menekankan fakta bahwa negara-negara Eropa harus bertanggung jawab.
Willy menjelaskan: “Pada kenyataannya, komunitas internasional tidak bisa menghentikan konflik di Palestina.”
Mengenai hal itu, Wili menyampaikan, dalam rangka Kongres ke-3, Partai NasDem akan menyelenggarakan acara Lima Dolar untuk Palestina demi Kemanusiaan.
Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Andy Yentriyani menilai, berkepanjangannya konflik Palestina-Israel menunjukkan bahwa mekanisme yang diterapkan pasca Perang Dunia Kedua tidak bisa memberikan respon yang baik terhadap konflik yang sedang berlangsung.
Menurut Andy, perang dan konflik bukanlah hal baru dan umumnya memiliki struktur yang sangat maskulin, karena salah satu pihak perlu memenangkan pihak lain sehingga perlu dilakukan pembagian kekuasaan.
“Karena konstruksinya yang maskulin, pihak-pihak non-maskulin seperti perempuan dan anak seringkali menjadi korban berbagai konflik,” jelasnya.
Di sisi lain, kata Andy, dalam situasi perempuan korban, sebagian perempuan juga menjadi pejuang untuk ikut berperang dan menjadi bagian kekuatan perdamaian dalam proses mengakhiri perang.
Andy berharap sejumlah upaya seperti pencegahan konflik bersenjata, pemberian bantuan kepada pengungsi, dan pencegahan kekerasan berbasis gender harus terus dilanjutkan.
Selain itu, pemerintah Indonesia harus terus mendorong pihak-pihak yang berkonflik untuk melakukan amandemen konstitusi guna mencapai penyelesaian damai yang bermartabat, tambahnya.
Presiden Pusat Kajian Politik BRIN Athiqah Nur Alami menilai perang Palestina-Israel sangat kuat pada isu gender terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Athiqah menyatakan, Israel saat ini masuk dalam daftar hitam negara yang banyak anak-anak dan perempuan terbunuh dalam perang.
Menurut laporan PBB tentang anak-anak dalam konflik bersenjata, 13.000 anak-anak dan 9.000 perempuan telah terbunuh dan terluka sejak 7 Oktober 2023.
Athiqah berkata: “Oleh karena itu, alasan pembelaan diri Israel ketika menyerang Palestina sudah tidak berlaku lagi, karena serangan Israel mengarah pada genosida.”
Pakar geopolitik Timur Tengah Dina Y. Süleyman berpendapat bahwa untuk mengetahui cara melindungi korban perang Israel-Palestina, Anda harus mengetahui posisi perempuan dan anak.
“Pemerintah Indonesia selalu menegaskan bahwa Palestina belum merdeka. Oleh karena itu, perempuan dan anak-anak Palestina adalah bangsa yang belum merdeka dan wilayahnya sedang diduduki.”
Diakui Dina, sejak awal kedatangan kaum Yahudi ke Palestina sebenarnya merupakan tindakan penjajahan dengan cara mengumpulkan penduduk kemudian menetap di negara jajahan dan berusaha mengendalikan pemerintahan.
Menurut Dina, dengan sikap seperti itu tentu saja tidak ada jalan bagi bangsa Palestina untuk memperjuangkan kemerdekaannya.
Dina mengatakan: “Selanjutnya, perjuangan perempuan Palestina harus didasarkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab.”
Menurut Dina, beberapa aksi teroris dilakukan Israel sebagai agresor.
Tegasnya, yang harus diupayakan bukan pemeliharaan perdamaian, melainkan penghentian kekerasan terhadap kemanusiaan yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain.
Direktur Sarinah Institute Eva Kusuma Sundari menilai lima syarat Pancasila telah dilanggar dalam kasus pendudukan Palestina.
Dalam konflik ini, hak-hak perempuan dan anak juga diingkari.
Eva mencontohkan, banyak perempuan yang menyelenggarakan kegiatan terkait perang Israel-Palestina, namun isu yang disebutkan dalam kegiatan tersebut mengikuti isu yang diangkat oleh laki-laki. Eva sangat berharap perempuan bisa bersuara mengenai hak-hak perempuan Palestina yang dilanggar.
Eva mengatakan: “Hal yang perlu diketahui dari permasalahan Israel dan Palestina adalah mengapa Israel berani melakukan berbagai pelanggaran kemanusiaan di Palestina. Karena dukungan kuat dari Amerika Serikat, tindakan genosida di Palestina terus berlanjut.”
Menurut Eva, saat ini terjadi krisis kemanusiaan dan krisis penegakan hukum internasional terkait konflik Israel-Palestina.
“Konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan merupakan tanda bahwa agenda internasional yang mempertahankan neokolonialisme masih ada,” kata Eva.
Eva berpendapat, terkait krisis antara Israel dan Palestina, bantuan kemanusiaan harus terus dilanjutkan, karena situasi rakyat Palestina saat ini berada di antara hidup dan mati. (mrk/jpnn) Jangan lewatkan video pilihan editor ini: