PMKRI Bersikap Tegas Soal Kabar Ormas Keagamanaan Dapat Jatah Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus

saranginews.com, JAKARTA – Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) menambah daftar organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan yang mendapat izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) dari pemerintah. Terhadap informasi yang beredar di jejaring sosial.

Presidium Pengurus Pusat PMKRI Tri Natalija Urada menegaskan, hingga saat ini belum ada pembahasan mengenai ketentuan Pemerintah dalam pengelolaan tambang organisasi yang dipimpinnya.

Baca juga: Izin Pengelolaan Tambang Bagi Organisasi Masyarakat Agar Bermanfaat Bagi Masyarakat Bernilai PUI

Dalam keterangan tertulisnya, Rabu (6/5/2024), Tri Natalija mengatakan, “Kalaupun ada tawaran, PMKRI pasti menolaknya.

Menurut Tri Natalia, kekhawatiran utama penolakan tersebut adalah independensi, arah dan perjuangan PMKRI sebagai organisasi mahasiswa yang tidak mau bekerjasama dengan kepentingan usaha pertambangan.

Baca Juga: Iran Sebut Izin Usaha Tambang Arina Dibekukan di Jaya

Ia mengingatkan, pihaknya akan terus berupaya menyikapi dan mengkritisi berbagai permasalahan yang timbul dari aktivitas industri pertambangan.

Ketentuan bagi ormas keagamaan penerima WIUPK dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat diatur dalam Pasal 83A Ayat 1 Peraturan Pemerintah (VP) Nomor 25 Tahun 2024. bisnis.

Baca selengkapnya: Komisi Pemberantasan Korupsi Selidiki Dugaan Pengusaha Suap Izin Usaha Pertambangan ke Pejabat ESDM

Berdasarkan aturan tersebut, organisasi keagamaan kini bisa memiliki WIUPK.

Jika mengacu pada Pasal 75 UU. Ketiga, untuk pertambangan mineral dan batubara, IUPK diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau Badan Usaha Swasta, dan WIUPK diutamakan pelaksanaannya melalui lelang.

“Kami melihat perbedaan dan/atau tumpang tindih antara UU Minerba dengan PP no. 25 tahun 2024 Selain itu juga dapat menimbulkan konflik besar di kemudian hari,” kata Tri Natalia.

Tautan data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukkan saat ini terdapat 7.993 Izin Usaha Mineral dan Pertambangan (Minerba) dengan luas 10.406.060 hektar.

Operasi ini menyebabkan kerusakan lingkungan jangka panjang dan tidak dapat diperbaiki lagi. Pembukaan lahan skala besar atas nama kemajuan ekonomi justru mencemari air, udara dan laut, sehingga berdampak pada kesehatan manusia dan pangan masyarakat, terutama di sekitar lokasi pertambangan.

“Jadi kalau PMKRI ikut campur di pertambangan sama saja dengan melindungi persoalan yang ada dan sangat bertentangan dengan kerja yang kita lakukan selama ini, seperti menjaga kedaulatan lingkungan hidup,” kata Tri Natalya.

Ia menilai rencana tersebut dapat menimbulkan konflik agraria baru dengan masyarakat dan memperparah kesenjangan sosial.

Menurut data KPA, pada tahun 2023 Terjadi 32 konflik agro di lahan seluas 127.525 hektar yang melibatkan 48.622 keluarga di 57 desa yang terkena dampak ranjau.

PMKRI tidak memiliki sumber daya manusia dan kapasitas teknis yang diperlukan untuk mengoperasikan tambang.

Namun sebagai komponen masyarakat sipil, PMKRI mempunyai komitmen dan pendekatan yang konsisten terhadap berbagai kebijakan yang berbeda dan ketimpangan lainnya yang dapat merugikan masyarakat, khususnya industri ekstraktif seperti pertambangan.

“Kami berharap Pemerintah menghentikan rencana ini dengan segera mengubah tahun 2024 nomor PP. 25 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara,” kata Tri Natalija.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *