saranginews.com, Jakarta – Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat mendorong sosialisasi terkait penyakit tuberkulosis (TBC atau TBC).
Ia berharap semua pihak ikut serta dalam pencegahan dan pengendalian.
Baca Juga: Suami Bunga Sitra Lestari Diduga Curi 6,9 Miliar Birr: Sedang Diinvestigasi
Demikian disampaikan Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat, bagaimana perkembangan kasus tuberkulosis (TB) yang paling serius? Forum diskusi Denpasar 12 digelar pada Rabu (5/6).
“Kita menghadapi tantangan dalam pengendalian TBC sepanjang tahun. Stigma dan diskriminasi terhadap pasien TBC masih menjadi permasalahan dalam pengobatan TBC,” kata Lestari Mordijat.
Baca Juga: KMP Permata Lestari menembaki BUMD pelabuhan Bengali.
Wawancara tersebut diedit oleh Angyasari Puji Aryathy (Ahli Wakil Ketua MPR RI) Dr. Tiffany Tiara Pakasi, MA (Ketua Kelompok Kerja Tuberkulosis/TB, Kementerian Kesehatan, Indonesia), Tijandra Yoga Adtamama, Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE, FISR (Direktur Pascasarjana Universitas YARSI – Direktur WHO) SEARO / Kantor Regional WHO Asia Tenggara 2018-2020) dan Dr. Pinki Saptandari, Dra (Antropolog Kesehatan-Universitas Erlanga Surabaya) sebagai pakar.
Menurut Lestari, penderita TBC masih kurang pengetahuan dan kesadarannya terhadap tindakan yang harus dilakukan.
Baca Juga: Pelestarian Budaya dan Sejarah Platform Intelektual Suku Pak Terbitkan Dua Buku
Berdasarkan Global TB Report 2023, Indonesia yang dijuluki Lestari diperkirakan berada di peringkat kedua dengan jumlah kematian akibat TBC sebanyak 1.060.000 dan 134.000 jiwa.
Memorandum ini menekankan pentingnya memperkuat komitmen Indonesia untuk mengalahkan TBC.
“Perbaikan sistem deteksi dini dan pelaporan kasus TBC harus menjadi bagian dari proses untuk menjamin perlindungan kesehatan masyarakat,” kata perwakilan Daerah Pemilihan Daerah II Jawa Tengah II itu.
Bapak Tiffani Tiara Pakasi, ketua kelompok kerja TBC di Kementerian Kesehatan Indonesia, mengatakan bahwa agar TBC dapat diakhiri, Anda perlu menemukan penderita TBC sesegera mungkin dan mendapatkan pengobatan yang memadai, memutus infeksi HIV. dan pulih dengan baik. .
Menurut Tiffany, tingkat keberhasilan penemuan kasus TBC harusnya 90% dari perkiraan, sehingga bisa ditemukan 90% tingkat keberhasilannya.
Meningkatnya kasus TBC disebabkan oleh adanya pandemi Covid-19 yang berdampak pada menurunnya pelaporan kasus, tidak dilaporkannya kasus, dan terlambatnya pelaporan kasus.
Berdasarkan situasi tersebut maka dilakukan skrining cepat dengan menggunakan alat rontgen portabel (portable X-ray) untuk menemukan penderita TBC dan rencananya akan segera diobati hingga sembuh.
“Tahun 2021 ini kita sudah mempunyai Peraturan Presiden No. 67 dalam pemberantasan TBC ada enam metode pencegahan, memperkuat komitmen dan kepemimpinan pemerintah pusat dan daerah, ketersediaan obat TBC kepada pasien,” ujarnya.
Tijandra Yoga Aditama, direktur studi pascasarjana di Universitas YARSI, mengumumkan pada pembukaan pertemuan tahunan Organisasi Kesehatan Dunia pada bulan Mei bahwa 87 juta orang di dunia kini telah berhasil terbebas dari TBC.
Saat ini, Organisasi Kesehatan Dunia menyebutkan jumlah penderita TBC telah menurun sepertiganya di 47 negara.
Ia mengatakan sayang sekali Indonesia tidak masuk dalam daftar negara tersebut.
Pada tahun 2020, menurut Tijandra, jumlah penderita TBC di Indonesia akan masuk lima besar dunia. Namun pada tahun ini, jumlah penderita TBC di Tanah Air menduduki peringkat kedua di dunia.
Tjandra mengatakan dalam 10 tahun, Tiongkok telah mengurangi jumlah penderita TBC lebih dari 25 persen, meski masalah TBC global telah berkurang sebesar 13 persen.
Tindakan Tiongkok tersebut dipicu oleh ketentuan bahwa Negeri Tirai Bambu akan meningkatkan anggaran pengendalian TBC sebesar 20 kali lipat pada tahun 2023 dibandingkan tahun 2021, ujarnya.
Tjandra khawatir tindakan serupa bisa dilakukan di Indonesia.
Menurut Tjandra, integrasi multisektor harus terjadi dengan cepat. Peran generasi muda penting dalam meningkatkan pengendalian TBC dan sosialisasi kebijakan kesehatan pada masyarakat.
Antropolog Kesehatan – Universitas Erlanga Surabaya Pinki Saptandari TBC menjelaskan beratnya masalah ini dengan mengatakan bahwa TBC merupakan masalah kesehatan yang ditutupi oleh banyak mitos, stigma, masalah sosial dan budaya.
Menurut Pinky, pelayanan kesehatan harus komprehensif, terpadu, holistik dan inklusif untuk mendeteksi dan mengobati TBC sejak dini.
Sebab, ketika seseorang terdiagnosis TBC, ia tidak segera mendapatkan pengobatan, imbuhnya.
Pinky menekankan pentingnya mendengarkan faktor lingkungan, sosial dan budaya dalam pengobatan TBC.
Upaya penyembuhan TBC telah menekankan pentingnya partisipasi aktif para tokoh, tokoh agama, dan guru dalam upaya pemberantasan TBC di Indonesia.
Pakar kesehatan TBC, Bapak Bobby Singh, mengatakan bahwa kelompoknya bekerja di rumah sakit swasta, dan juga terlibat dalam mendidik masyarakat tentang bahaya TBC dalam upaya mengakhiri kasus TBC.
Dalam sehari, menurut Bobby, ada 450 pasien TBC yang berobat ke rumah sakit. Pengobatan TBC biasanya dilakukan dengan dosis rendah, ujarnya.
Namun Bobby menegaskan, pada beberapa kasus, pengobatan sederhana dari daun juga diperlukan bagi sebagian pasien TBC yang tidak merespons obat. Diakui Bobby, ketersediaan obat Rifampisin dan INH untuk mengatasi TBC saat ini sangat terbatas.
Ketua WHO di Indonesia Setiawan Jati Laksono mengatakan, sebelum tahun 2013, tes TBC sudah digunakan, sehingga jumlah orang yang terdiagnosis rendah.
Pada tahun 2021 seperti yang dijelaskan Setiawan, pendataan TBC menggunakan model dinamis sehingga jumlah kasus sangat bergantung pada kinerja program.
Diakui Setiawan, tingginya kasus TBC di Indonesia karena kita belum mampu mengendalikan faktor penyebab TBC. Dia menambahkan, tindakan pencegahan belum diterapkan dengan baik di masa lalu.
Ia mengatakan, jika pengobatan tidak tuntas maka akan menjadi beban dalam upaya pemberantasan TBC di Tanah Air.
Dikatakannya, saat ini Indonesia telah mengalami kemajuan dalam pengobatan TBC wanita tersebut, sehingga kasus orang yang diperiksa semakin banyak dan dapat diobati dengan cepat.
Menurutnya, upaya kolaborasi berbagai kelompok dan program dalam pengendalian TBC memerlukan pendanaan penuh. Sejauh ini, pendanaan TBC baru mencapai kurang dari 50 persen. (jpnn)
Baca artikel lainnya… Waspadai Kanker Payudara Saat Hamil Lestari Moerdijat: Penting Diketahui Sebelum Terlambat