Guru Besar UI Sebut Hukum Sudah Menjadi Alat Rekayasa Politik untuk Kepentingan Kekuasaan

saranginews.com, Jakarta – Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Dr. Sullistiowati Irianto menemukan ada kecenderungan kemunduran demokrasi pada pemerintahan saat ini.

Hal itu disampaikan perempuan yang akrab disapa Sulis saat memberikan kuliah umum bertajuk “Dilema Intelektual di Masa Gelap Demokrasi” pada Kontjaranigrat Memorial Lecture yang digelar di Forum Kajian Antropologi Indonesia (FKI), Senin. (3/6)

Baca Juga: MA Ubah Batas Usia Calon Daerah, PKS: Demokrasi Dilumpuhkan Pemerintah.

Ato Sulis mengatakan, upaya pemerintah melemahkan demokrasi pada masa kepemimpinannya akan dimulai dari politik yudisial dan menyebarkan informasi palsu kepada masyarakat yang mengatakan bahwa semuanya normal tanpa melanggar hukum. Demokrasi perlahan-lahan runtuh dan mengancam kohesi sosial.

“Pejabat pemerintah yang seharusnya menjadi juri akan ikut memuji para kontestan,” kata Sulis di Auditorium Mochtar Riady FISIP UI, Depok.

Baca Juga: MA Ubah Batas Usia Calon Presiden, Seno PDIP Marah: Ini Tak Baik Bagi Demokrasi.

Sulis pada tahun 2010 Ia menilai pemilu 2024 penuh korupsi politik dan telah dinegosiasikan di tingkat akar rumput. Inilah sebabnya mengapa politik elektoral menjadi semakin penting. Pemilu juga berkaitan dengan fungsi penting jabatan publik.

“Tidak sedikit politisi yang dengan mudah berpindah dari satu partai politik ke partai politik lainnya dengan harapan menjadi pemimpin.

Baca Juga: Munas V PDP MW Sebut Perlu Keseimbangan

Sulis menuturkan, tiga orang hakim konstitusi berbeda pendapat atau berbeda pendapat terhadap pelaksanaan Pemilu 2024, kemudian lebih dari 50 amicus curiae yang disampaikan oleh akademisi, seniman, kalangan industri, dan masyarakat lainnya.

Kemudian muncul informasi dari Komite Hak Asasi Manusia PBB, yang belum tersedia pada pemilu sebelumnya.

Sulis juga menilai hukum telah menjadi alat rekayasa politik demi kekuasaan. Berbagai undang-undang ini akan segera disahkan dalam jangka panjang pemerintahan. Undang-undang tersebut antara lain undang-undang terkait periklanan, Polri, Tentara Nasional Indonesia, Mahkamah Konstitusi, dan menteri-menteri pemerintah. Berbagai artikel menghubungkan lembaga legislatif dengan esensi demokrasi dan hak asasi manusia.

“Misalnya kebebasan berpendapat dan kebebasan pers adalah publikasi yang menyajikan hasil-hasil penelitian dan bertugas melindungi, membela, mengabdi, dan menegakkan hukum di masyarakat,” kata Sulis.

Tak hanya itu, Sulis mengkritisi berbagai kebijakan eksekutif yang dibuat secara sembunyi-sembunyi di tingkat nasional, ramai dibicarakan, dan akhirnya mendapat opini keras. Misalnya kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Kemudian proses kebijakan tabungan perumahan rakyat (TAPERA) tidak didasarkan pada kajian dampak regulasi yang tepat, kata Sulis.

Sejumlah profesor, aktivis, politisi dan intelektual hadir dalam kuliah umum ini. Mereka adalah Sekjen PDI-P Hasto Christianto, filsuf Rocky Gerung, mantan Pimpinan KPK Bambang Wijojanto (BW), dan mantan pegawai KPK Novel Baswedan.

Aktor Usman Hameed dan Sumarsih hadir. Lalu ada jurnalis Bonny Triana, ekonom Faisal Basiri, dan politikus Guntur Romli. (Tan/Jepang)

Baca artikel lainnya… Jan Prince Permata: Demokrasi dan Hak-Hak Rakyat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *