Pakar Hukum Tegaskan Indonesia Adalah Negara Hukum, Bukan Negara Pajak

saranginews.com, Jakarta – Pengadilan Pajak, Jakarta Pusat, Kamis (30/5/2024) kembali menggelar sidang perkara PT Arion Indonesia terhadap Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Dalam sidang tersebut, pakar hukum Alessandro Rey menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara pajak, melainkan negara hukum.

Baca Juga: Pajak Makanan Bergizi Gratis dan Gaya Pak Muliani Bermain APBN

DJP mewakili tim sidang Kanwil DJP Jatim III berdalih tidak ada akibat hukum perpajakan jika SPHP (Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan) diserahkan setelah batas waktu yang ditentukan.

Mereka menganggap ini sebagai kesalahan umum dalam praktik lapangan.

Baca selengkapnya: Penjelasan Siswanto soal Penggerebekan Kantor BPKD Aceh Barat soal Korupsi Pajak

Namun, Alessandro Rey yang hadir sebagai saksi ahli menegaskan, dalam aturan hukum kesalahan sekecil apa pun tidak boleh dianggap biasa karena tidak ada akibat hukumnya, seperti keterlambatan SPHP yang tidak ada sanksinya. Dalam UU KUP atau PMK.

“Jika keputusan tersebut tidak dilaksanakan dengan menggunakan prosedur yang benar, maka keputusan tersebut dianggap tidak sah dan cacat prosedur,” jelas Ray.

Baca juga: Investigasi Kasus Korupsi Pajak, Jaksa Gerebek Kantor BPKD di Aceh Barat

Ia menambahkan, jika DJP tetap mengklaim tidak melanggar hukum, meski pengajuan SPHP tertunda, maka bisa dikatakan DJP tidak mengakui Indonesia sebagai negara hukum, melainkan hanya sebagai negara pajak.

Ray bertanya apakah pengadilan akan terus membiarkan keputusan yang melanggar hukum. Ia mengatakan hakim tidak boleh membatalkan UU Administrasi Negara karena bukan bagian dari UU Perpajakan.

“Diakui pelanggaran tapi tidak dicabut. Ini keadaan ilegal dalam negara hukum. Dimana negara hukum yang memperbolehkan pelanggaran? Tidak ada sejarah. Sekali lagi, negara kita adalah negara hukum, tidak ada sejarah. Ini bukan keadaan finansial, ” desak Ray.

Ray juga menegaskan, DJP hanya mengacu pada Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP yang memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk membatalkan penerbitan SKP (Surat Ketetapan Pajak) jika terdapat inkonsistensi. SPHP sesuai batas waktu.

Ia mengkritisi DJP hanya fokus pada satu pasal UU KUP tanpa mempertimbangkan aspek lain seperti ketentuan Undang-Undang Administrasi Negara (UU AP) yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan dalam proses pencabutan SKP tersebut.

Ray berharap majelis hakim Pengadilan Fiskal mempertimbangkan dalil-dalil yang disampaikan dalam persidangan dan mengambil keputusan yang sehat sesuai prinsip supremasi hukum. 

“Indonesia adalah negara hukum, bukan negara pajak,” pungkas Ray.

Di sisi lain, tindakan kontroversial DJP memperkuat argumen Ray. Dalam artikel bertajuk Pejabat Pajak yang Menyamar CNBC Indonesia, kasus yang melibatkan pejabat pajak seperti penipuan dan perilaku tidak etis diungkap Dirjen Pajak: Pengungkapan penipuan yang “hidup bersama” menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap prinsip hukum dan etika. 

Contoh lainnya adalah Rafael Alun Trisambodo, petugas pajak yang menerima gratifikasi dan melakukan pencucian uang sebesar Rp 14 miliar.

Seperti dilansir pers nasional, agen pajak seperti Rafael Alun Trisambodo mengumpulkan kekayaannya melalui pemerasan dan kolusi dengan konsultan pajak saat membayar pajak. 

Kasus-kasus ini mencerminkan bagaimana sistem perpajakan dapat disalahgunakan jika hukum tidak dipatuhi dengan ketat.

Apalagi jika berujung pada pelanggaran yang dilakukan wajib pajak. Ironisnya, Ray mengatakan negara akan kacau jika dihadapkan pada orang-orang yang melakukan kesalahan dan justru suka mengesampingkan hal tersebut (Ray/JPNN).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *